BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Zaman revolusi fisik (1945-1950) merupakan suatu
zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan
kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh
bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan
hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan
suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari
identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan
untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya membuahkan hasil pada
masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam kehidupan
kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari
kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa
rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit
dasar sejarah (Ricklefs, 1991: 317).
Kedaulatan dan persatuan bangsa masih harus
terus diuji karena masih adanya ancaman dari luar negeri seperti dari Belanda
yang mengandalkan tentara NICA. Begitu pula dari dalam negeri belum sepenuhnya
stabil karena adanya ancaman keamanan dimana-mana. Mengenai orang-orang
Indonesia yang mendukung revolusi, maka ditarik perbedaan-perbedaan antara
kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan-kekuatan diplomasi, antara
mereka yang mendukung revolusi dan mereka yang menentangnya, antara generasi
muda dan generasi tua, antara golongan kiri dan golongan kanan, antara kekuatan-kekuatan
islam dan kekuatan-kekuatan sekuler, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu
gambaran mengenai suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa bangsa
Indonesia berbentuk beraneka ragam dan terus-menerus berubah. Baik pihak
belanda maupun pihak revolusioner Indonesia menganggap revolusi Indonesia
sebagai suatu zaman yg merupakan kelanjutan dari masa lampau.bagi Belanda
tujuannya menghancurkan sebuah negara yang dipimpin oleh orang yang bekerjasama
dengan jepang dan memulihkan suatu rezim kolonial yang menurut keyakinan mereka
telah dibangun selama 350 tahun. Sedangkan, bagi para pemimpin revolusi
Indonesia, tujuannya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan
kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya.
Sebenarnya inilah saat ketiga kalinya pihak
belanda bermaksud menaklukkan Indonesia mereka kini akan mencoba untuk yang
ketiga kalinya, dan masalah yang mereka hadapi ialah menaklukkan Nusantara
sekaligus. Bagi bangsa Indonesia untuk pertama kalinya sejak abad XVI mereka menguasai hampir seluruh wilayah
nasional mereka dan lebih bersatu dari pada sebelumnnya dalam menghadapi
belanda yang lebih kecil jumlahnya. Akan tetapi persatuan nasional yang bulat
masih tetap jauh. Sistem perhubungan yang buruk, perpecahan internal, lemahnya
kepimpinan pusat dan perbedaan kesukuan menandakan bahwa sebenarnya revolusi
merupakan suatu kejadian yang terpotong potong.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi pemerintahan pada awal revolusi fisik
Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima
penyerahan jepang maka muncul lah tantangan serius yang pertama terhadap
revolusi. Pada awal tahun 1945 pihak sekutu telah memutuskan bahwa pasukan
pasukan amerika akan memusatkan perhatian pada pulau pulau di jepang . dengan
demikian tanggung jawab atas Indonesia akan di pindahkan dari komando pasifik
barat daya Amerika kepada komando Asia tenggara Inggris dibawah pimpinan Lord
louis mountbatten. Tentu saja belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia
dan menghukum mereka yang bekerja sama dengan jepang.
Pemerintah pusat Republik Indonesia segera
dibentuk di jakarta pada akhir agustus 1945. Pemerintah menyetujui konstitusi
yang telah di rancang oleh panitia kemerdekaan indonesia sebelum menyerahnya
jepang. Akan tetapi, pihhak angkatan laut jepang memperingatkan bahwa
orang-orang indonesia yang beragama kristen di wilayahnya tidak akan menyetujui
peranan istimewa islam, sehingga piagam jakarta dan syarat bahwa kepala negara
haruslah seorang muslim tidak jadi di cantumkan. Soekarno diangkat sebagai
presiden dan hatta sebagai wakil presiden, karena politikus yakin bahwa hanya
merekalah yang dapat berurusan dengan pihak jepang.
Suatu struktur pemerintahan juga di tetapkan
dengan mudah. Orang-orang indonesia yang menjabat sebagai penasihat
pemerintahan (sanyo) dan wakil residen diangkat sebagai pejabat republik,
sehingga pihak jepang dapat menyerahkan pemerintahan secara damai dan hati-hati
kepada mereka tannpa melakukan pelanggaran yang begitu mencolok terhadap
syarat-syarat penyerahan jepang kepada pihak sekutu.
B. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah di proklamasikan,
ternyata bangsa Indonesia masih mengalami berbagai macam rongrongan atau
gangguan yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Pemerintah Belanda masih
tetap ingin menguasai wilayah Indonesia. Namun, kali ini kedatangan pasukan
Belanda ke wilayah Indonesia bersama-sama dengan pasukan Sekutu-Inggris.
Kedatangannya disambut dengan berbagai bentuk perlawanan oleh bangsa Indonesia.
Sejak 1945 hingga tahun 1950 telah terjadi berbagai macam pertempuran antara
pihak Indonesia dengan pihak Belanda yang dibantu oleh pasukan Sekutu-Inggris.
a. Perjuangan bersenjata dan diplomasi
Indonesia sudah menyatakan dirinya sebagai
negara merdeka. Namun, hal itu bukan berarti keadaan dalam negeri menjadi
tenang. Kemerdekaan itu harus dipertahankan dari ancaman pihak asing. Untuk
mempertahankan kemerdekaan, Pemerintah Indonesia menempuh dua cara, yakni
perjuangan diplomasi dan perjuangan bersenjata. Perjuangan diplomasi melahirkan
beberapa perjanjian, sedangkan perjuangan bersenjata mengakibatkan terjadinya
berbagai pertempuran.
1. Pertempuran
Surabaya (10 november 1945)
Pertempuran di Surabaya melawan sekutu tidak
lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perebutan
kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September
1945. Perebutan kekuasaan dan senjata yand dilakukan oleh para pemuda berubah
mejadi situasi revolusi yang konfrontatif antara pihak Indonesia dengan Sekutu.
Meskipun Inggris dilengkapi dengan
pesawat-pesawat terbang dan meriam dalam pertempuran yang lama dan pahit serta
akhirnya menguasai kota, perang itu tetap dan masih dianggap suatu kemenangan
oleh orang Indonesia, karena pertempuran Surabaya adalah titik balik dalam
perjuangan kemerdekaan mereka. Ini merupakan suatu demonstrasi di hadapan inggris
tentang kekuatan berperang dan kesediaan mengorbankan jiwa raga yang ada di
balik gerakan yang sedang ditentang inggris itu (Kahin, 1995: 182). Pertempuran
di Surabaya membuka jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan diplomatik
selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia.
Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling
hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Soetomo,
orang yang lebih dikenal dengan Bung Tomo meggunakan radio setempat untuk
menimbulkan suasana revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota. Di kota yang
sedang bergolak ini kira-kira 6.000 pasukan inggris yang terdiri dari
serdadu-serdadu india tiba pada tanggal 2 Oktober untuk mengungsikan para
tawanan. Sekitar 2.000 TKR yang baru saja terbentuk dan sebanyak kurang lebih
120.000 orang dari badan-badan perjuangan siap untuk membantai
prajurit-prajurit India tersebut, meskipun persenjataan mereka sangat tidak
memadai. Pada tanggal 30 oktober diadakanlah gencatan senjata. Akan tetapi pertempuran
meletus lagi dan panglima pasukan inggris setempat, brigadier jenderal A.W.S.
Mallaby terbunuh. Pada tanggal 10 November subuh, pasukan-pasukan inggris
memulai suatu aksi pembersihan berdarah sebagai hukuman di seluruh pelosok kota
di bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut, dalam menghadapi perlawanan
Indonesia yang fanatik. Ribuan rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya
meninggalkan kota yang hancur tersebut.
Latar belakang pertempuran Surabaya, antara lain
:
1) keinginan Sekutu untuk merebut senjata
milik Jepang yang sudah dikuasai oleh para pemuda Indonesia.
2) Inggris yang mengingkari janjinya dengan
pemerintah Indonesia, dan berhasil membebaskan seorang kolonel Belanda dari
penjara dengan melakukan penyerangan.
3) terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S
Mallaby pada pertempuran 28, 29 , dan 30 oktober 1945.
4) ultimatum Inggris yang mengeluarkan
instruksi agar pemimpin bangsa Indonesia dan semua pihak di kota Surabaya
menyerah kepada Inggris.
2. Pertempuran
Ambarawa
Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20
November 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran ini
terjadi antara TKR bersama rakyat Indonesia melawan pasukan Sekutu-Inggris
Latar belakang pertempuran Ambarawa, antara lain
:
1) Insiden di Magelang sesudah mendaratnya
Brigade Artileri, yang kedatangannya diikuti oleh orang-orang NICA
2) pihak Sekutu yang mengingkari janjinya
terhadap persetujuan yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua belah pihak.
3) Sekutu melakukan pengeboman terhadap
kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
3. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 november 1945, pasukan sekutu
dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D Kelly mendarat di Sumatera Utara yang
dikuti oleh pasukan NICA. Brigadir ini menyatakan kepada pemerintah RI akan
melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar
kota Medan. Dengah dalih menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan
kembali dan dipersenjatai.
Latar belakang pertempuran Medan Area, antara
lain :
1) bekas tawanan yang menjadi arogan dan
sewenang-wenang.
2) ulah seorang penghuni hotel yang merampas
dan menginjak-injak lencana merah-putih.
3) ultimatum agar pemuda Medan menyrahkan
senjata kepada Sekutu.
4. Bandung Lautan Api
Pasukan Sekutu Inggris memasuki kota Bandung
sejak pertengahan oktober 1945. Menjelang november 1945, pasukan NICA semakin
merajelela di Bandung dengan aksi terornya. Masuknya tentara sektu dimanfaatkan
oleh NICA untuk mengembalikan kekuasaanya di Indonesia. Tapi semangat juang
rakyat dan para pemuda Bandung tetap berkobar.
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :
1) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota
Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
2) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA,
dimana Bandung dibagi dua bagian.
3) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol
dan menyebabkan banjir besar dalam kota
4) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan
sejauh 11km dari Bandung Utara.
5. Peristiwa
Merah Putih di Manado
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 14 februari
1946 di Manado. Para pemuda Manado bersama laskar rakyat dari barisan pejuang
melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa.
Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan.
Adapun latar belakang dari peristiwa ini yaitu
keinginan pemuda untuk merebut kembali kekuasan di seluruh Manado yang berada
di tangan Belanda.
6. Pertempuran
Margarana (20 november 1946)
Pada tanggal 2 dan 3 maret 1946, lebih kurang
2.000 tentara Belanda mendarat di pulau Bali. Ketika Belanda mendarat, pimpinan
laskar Bali Kolonel I Gusti Ngurah Rai, sedang menghadap ke markas tertinggi
TKR di Yogyakarta.
Latar belakang pertempuran Margarana, antara
lain :
1) kedatangan Belanda yang
memporak-porandakan pasukan Igusti Ngurah Rai
2) tidak behasilnya Belanda yang membujuk
Pimpinan Laskar Bali untuk bekerja sama.
3) pasukan I Gusti Ngurah Rai berhasil
menyerang markas Belanda yang menyebabkan kemarahan dari pihak Belanda.
7. Perjanjian
Linggarjati
Perlawanan hebat dari rakyat dan para pemuda
Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan menyebabkan Inggris menarik suatu
kesimpulan bahwa sengketa antar Indonesia dan Belanda tidak mungkin dapat
diselesaikan dengan kekuatan senjata, melainkan dengan cara diplomasi. Untuk
menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda, maka pada tanggal 10 november 1946
diadakan perundingan di Linggarjati. Pihak Indonesia dipimpin oleh dr.
Sudarsono, jenderal Soedirman dna jenderal Oerip Soemohardjo. Sedangkan Belanda
Van Mook, serta Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah. Isi
persetujuan Linggarjati, antara lain :
1) Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama
membentuk negara federasi bernama Negara Indonesia Serikat.
2) NIS tetap terikat dalam ikatan kerja sama
dengan kerajaan Belanda.
3) Belanda mengakui secara de facto RI dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus
meninggalkan wilayah de facto.
8. Agresi
Militer I Belanda
Pada tanggal 27 mei 1947, Belanda mengirimkan
Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari yang menuntut agar segera
dibentuk pemerintahan sementara bersama dan pembentukan pasukan bersama. Namun
ultimatum ini dijawab dengan penolakan oleh Bangsa Indonesia. Sehingga, pada
tanggal 21 juli 1947 Belanda melakukan serbuan pertama ke berbagai wilayah RI.
Serangan ini dikenal sebagai Agresi Militer I Belanda. Dalam waktu singkat
Belanda berhasil menguasai kota-kota, sasaran utama Belanda ialah menguasai
daerah-daerah penghasil devisa. Akibatnya wilayah yang dikuasai RI semakin
sempit dan pada umumnya adalah daerah minus.
9. Perjanjian
Renville
Sementar peperangan sedang berlangsung, Dewan
Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan
senjata tanggal 1 agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi
Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia yang dipilih oleh
Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan Amerika Serikat sebagai
penengah perselisihan itu. Yang dikenal dengan Komisi Tiga Negara.
Dengan perantara KTN, pada tanggal 8 desember
1947 dimulantara RI dan Belanda. Perundingan diadakan ditempat netral, yakni
diatas kapal perang Amerika Serikat USS enville di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta sebab RI menolak berunding di daerah yang dikuasai Belanda. Perundingan
akhirnya menghasilkan persetujuan yang ditandatangani pada tanggal 17 juanuari
1948 yang dikenal dengan perjanjian Renville. Persetujuan itu menmpatkan RI
pada posis yang sulit. RI terpaksa mengakui pendudukan Belanda di daerah-daerah
yang mereka rebut selama Agresi Militer I.
10. Agresi
Militer II Belanda
Pihak Belanda yang masih ingin menguasai wilayah
Indonesia, mencari cara untuk mengingkari persetujuan yang sudah disepakati.
Sebelum macetnya perundingan itu sudah ada tanda-tanda bahwa pihak Belanda akan
melanggar Perjanjian Renville. Oleh karena itu, pemerintah RI sudah
memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernya
untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata.
Seperti yang telah diduga seblumnya, akhirnya
Belanda pun melakukan aksi militernya yang kedua, yang menyebabkan berhasil di
dudukinya ibukota Yogyakarta. Setelah serbuan ke Yogya dan daerah RI yang lain.
Belanda mengalami tekanan politik dan militer. Terutama dari USA dan negara
Asia yang bersimpati pada perjuangan RI. Dari segi militer, taktik gerilya dan
sistem wehrkreise yang dilaksanakan Angkatan perang RI berhasil mengacaukan
strategi dan taktik Belanda. Perjuangan yang paling terkenal adalah Serangan
Umum 1 Maret. Karena secara militer Belanda tidak akan dapat menaklukkan RI,
jalan satu-satunya untuk menyelesaikan konflik adalah kembali ke meja
perundingan.
C. Kondisi Masyarakat
Pada Awal Revolusi Fisik
Laksamana Patterson (komandan garis belakang
Skuadron Tempur kelima Inggris) pada tanggal 29 september 1945 mengumumkan
bahwa pasukan-pasukan sekutu datang untuk melindungi rakyat dan untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang
berwenang berfungsi kembali. Pada hari yang sama, letnan jenderal Sir Philip
Christison (panglima sekutu untuk Hindia Belanda) mengumumkan bahwa pasukan
jepang di jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinen-kontinen
kecil pasukan Belanda dibawah perlindungan Inggris (Kahin, 1995: 180).
Aktivitas pasukan Ingris yang terus mendarat
dibawah perlindungan inggris dan pengumuman-pengumuman inggris yang kurang
tegas, secara bersama-sama menunjukkan kepada kebanyakan orang Indonesia, bahwa
pernyataan tegas kemerdekaan mereka sedang ditantang dan ini memancing reaksi
mereka yang tajam. Komando sekutu memerintahkan para komandan jepang untuk
menyerang dan merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang Indonesia,
seperti Bandung. Dipakainya pasukan jepang oleh sekutu untuk melawan republic
selanjutnya mendorong orang Indonesia untuk melawan Inggris sekaligus Belanda,
dan memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan kepada
status penjajahan (kahin, 1995: 182).
D. Kondisi Sosial Budaya
Pada Masa Revolusi Fisik
Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima
penyerahan jepang, maka semakin meningkatlah ketegangan-ketegangan di jawa dan
sumatera serta mendorong orang-orang yang sepenuh hati mendukung Republik untuk
berbalik melawan. Atas nama ‘kedaulatan rakyat’ para pemuda revolusioner
mengintimidasi, menculik, dan kadang-kadang membunuh para pejabat pemerintahan,
kepala-kepala desa, dan anggota-anggota polisi yang kesetiaannya disangsikan,
atau yang dituduh melakukan korupsi, pencatutan, atau penindasan selama
pendudukan jepang. Dalam kekacauan ini tindakan-tindakan atas nama kedaulatan
kadang-kadang sulit dibedakan dari tindakan-tindakan perampokan, perampasan,
pemerasan, dan pembalasan dendam semata. “Semangat merdeka menyala-nyala,
sehingga menyebabkan mereka kurang dapat mengendalikan diri.” (Moedjanto,
1993:100).
Pihak
Republik kehilangan banyak tenaga manusia dan senjata dalam pertempuran
Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah
menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi revolusi. Banyak orang
Belanda telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik hanya mewakili
segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat. Tak seorangpun pengamat yang serius dapat
mempertahankan anggapan seperti itu. Kepercayaan kekebalan, ramalan-ramalan dan
tradisi-tradisi pribumi lain, mendalamnya ketegangan-ketegangan sosial pribumi
atau daya tarik kekerasan bagi rakyat Indonesia, membuat gagasan mengenai suatu
revolusi sosialis internasional yang akan bersifat demokratis, anti bangsawan,
dan anti fasis sulit diterapkan di Indonesia.
Keadaan di dalam Republik di Jawa pada tahun
1948 sangat gawat. Kekuasaan republik secara efektif terdesak ke wilayah
pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat peduduknya dan kekurangan beras, dimana
penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade belanda dan masuknya
sekitar enam juta pengungsi dan tentara republik. Pemerintah Republik mencetak
lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya sehingga inflasi pun melonjak. Akan
tetapi, tindakan ini bukannya tanpa akibat-akibat yang menguntungkan. Dengan
meningkatnya inflasi dan harga beras, maka meningkat pula penghasilan para
petani dan sebagian besar hutang mereka dapat dilunasi, sementara penghasilan
para pekerja merosot.
Pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak
mereka memproklamirkan apa yang dinamakan “garis van mook”. Menurut garis Van
Mook, republik itu dibatasi hingga lebih sedikit dari sepertiga wilayah jawa –
wilayah tengah bagian timur (dikurangi pelabuhan-pelabuhan parairan laut-dalam)
dan ujung yang paling utara dari pulau itu. Separuh Madura, dan bagian paling
luas tetapi paling miskin dari Sumatera.
Garis van Mook menyingkirkan Republik itu dari
wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa maupun sumatera. Akan tetapi khusus
di Jawa, situasinya sangat gawat. Wilayah yang tetap dikuasai Republik
merupakan wilayah yang kekurangan pangan dengan produksi beras perkapita
diperkirakan oleh pemerintah hanya 62,6 kuintal dibandingkan dengan 85,9
kuintal di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Di samping itu, daerah yang
tersisa untuk republic ini didiami penduduk sejumlah 23 juta orang yang
kemudian ditambah lebih dari 700 ribu pengungsi dari daerah-daerah yang
dikuasai Belanda (Kahin, 1995: 278).
Pola makan yang berubah, pola hidup yang berubah
serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan
mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi masyarakat. Dalam aspek fisik
nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot
serta angka kematian yang tinggi. Dalam apek nonfisik, terlihat kemiskinan
mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan
komunal dan ketidaktentraman cultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat
dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di jawa berada dalam
tingkat yang sangat buruk. Oleh Scott disebut sebagai “subsistence level”,
yaitu tingkat pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemikiran yang digunakan adalah
bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin
memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir
Di sumatera, terjadi revolusi-revolusi sosial
yang keras dan menentang elite-elite bangsawan. Di aceh prmusuhan sengit antara
para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan birokrat (uleebalang)
mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di tingkat elite. Banyak
uleebalang yang mengharapkan kembalinya Belanda, dan puncaknya meletuslah
perang saudara. Para uleebalang gagal untuk melaksanakan suatu perlawanan terpadu
terhadap kekuatan-kekuatan pro-republik yang dipimpin oleh para ulama. Aceh
dengan ideology islam, menjadi wilayah yang paling stabil di Indonesia selama
masa revolusi.
Di sumatera timur, kelompok-kelompok bersenjata
yang sebagian besar terdiri dari orang-orang batak dan dipimpin oleh kaum kiri,
menyerang raja-raja batak pada bulan maret 1946. Penangkapan-penangkapan dan
perampokan-perampokan terhadap para raja segera berubah menjadi pembantaian
yang mengakibatkan tewasnya beratus-ratus bangsawan sumatera Timur, diantaranya
adalah Amir Hamzah. Para politisi republik setempat serta satuan-satuan tentara
setempat menentang tindak kekerasan ini, dan pada akhir bulan April para
pemimpin terkemuka revolusi sosial berdarah ini ditangkap, tetapi sebagian
dapat menyelamatkan diri dalam persembunyian. Perpecahan-perpecahan di dalam
tubuh/kekuatan-kekuatan revolusi di sumatera timur tampak jelas dengan
penindasan terhadap revolusi sosial tersebut. Semetara itu, perpecahan di
kalangan elite revolusi di jawa menjadi semakin tegang ketika partai-partai
politik terbentuk. Partai-partai yang penting pada masa revolusi diantaranya:
PKI (Partai komunis Indonesia), Pesindo (pemuda sosialis indonesia), Masyumi,
dan PNI (partai nasional Indonesia).
Semangat revolusi juga terlihat di dalam
kesusastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah-majalah republik
bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta.
Keseluruhan suatu generasi satrawan pada umumnya dinamakan angkatan 45, yaitu
orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi.
E. Peran Pers Pada Saat
Revolusi Fisik
Pers pada awal kemerdekaan sebagai mitra bagi
pemerintah dalam mencari kebenaran, mempertahankan kemerdekaan dan menggerakkan
rakyat untuk melawan penjajah. Secara struktural, pers Indonesia tumbuh dengan
baik, setiap warga negara dapat menerbitkan surat kabar tanpa adanya batasan,
perizinan dan semacamnya dari penguasa. Sebagaimana dikutip oleh Smith dalam
Sullivian (1967), “pada tahun 1948 Indonesia menerbitkan 45 surat kabar dengan
oplah 227 ribu sehari. Ditempat yang tidak ada surat kabar, orang Indonesia
menerbitkan suratkabar stensilan”. Selanjutnya, mengenagi pertumbuhan surat
kabar secara fisik, dalam Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia yang
diterbitkan SPS secara luas dikemukakan bahwa di beberapa daerah pada era
revolusi fisik ini terbit beberapa surat kabar Indonesia. Di Jawa misalnya,
terbit beberapa surat kabar, seperti Berita Indonesia yang merupakan pelopor
surat kabar dizaman kemerdekaan, Mimbar Oemoem, Sinar Deli, Berjuang, Islam
Berjuang, dan Soeloeh Merdeka di Medan. Di Sumatera Tengah (Sumatera Barat,
Riau dan Jambi), terbit Berjuang, Oetoesan Soematera, Pedoman Kita, Detik,
Kedaulatan Rakyat dan Tjahaya Padang. Di Palembang terbit surat kabar Warta
Berita, dan Soeara Rakyat. Sedangkan di Jakarta, terbit surat kabar Merdeka,
Rakyat, dan Soeara Oemoem. Di Bandung
antara lain, Pewarta Oemoem, di Jogyakarta terbit beberapa surat kabar seperti
Kedaulatan Rakyat, Soeara Merdeka, Suara Rakyat dan di Semarang Sinar Baru. Untuk konsumsi
tentara Inggeris/India dan kalangan yang berbahasa Inggeris dan Belanda,
diterbitkan mingguan “Free Indonesia” di bawah pimpinan Abdul Madjid, dan
penerbitan berkala “de Vrijheid” dan disebarkan cuma-cuma di Medan.
Periode ini ditandai pula dengan lahirnya
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Pebruari 1946. Pada awal
kelahirannya PWI menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan bersama
organisasi lainnya. “Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi
– bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan
yang mulia, kemerdekaan itu sendiri. Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat
dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih berusia muda sangat
memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat, dan hal ini tidak berarti
mengekang kebebasan wartawan.
Setelah Belanda kembali dengan pemerintahan NICA
yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia kembali mengalami
tekanan. Pemerintahan otoriter yang diterapkan Sekutu dan NICA sangat mengancam
kehidupan pers saat itu, karena kebenaran dianggap bukan hasil dari masa
rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang yang sedang berkuasa, yaitu Sekutu
dan NICA. Dalam kondisi yang penuh tekanan oleh Sekutu dan NICA, pers Indonesia
memproklamirkan dirinya sebagai pers perjuangan yang terfokus dalam mengobarkan
semangat perjuangan melawan penjajah.
Tekanan-tekanan terhadap pers Indonesia terjadi
di berbagai wilayah pendudukan. Di Jakarta pada tanggal 19 April 1946 Polisi
NICA melakukan penggerebekan terhadap kantor berita APB (Arabian Press Board
yang kemudian berubah menjadi Asian Press Board. Pemimpin APB, Dza Shahab
ditangkap dan APB dilarang menyiarkan berita apapun terutama mengenai
gerakan-gerakan TNI. Disamping itu wartawan ‘republiken’ yang bekerja di daerah
pendudukan, di intimidasi dan digeledah dengan dalih kolaborasi. Di Surabaya,
wartawan yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda, menyingkir ke pedalaman dan
disana mereka meneruskan perjuangan membela republik.
Di Medan, tekanan terhadap pers dilakukan Sekutu
dengan membreidel “Pewarta Deli”, memenjarakan A.O Lubis (Wartawan) dan Rahmat
pimpinan percetakan “Syarikat Tapanoeli”. Redaksi “Mimbar Oemum” A.Wahab,
ditahan dan alat-alat radionya dibeslag oleh Inggeris. Demikian pula halnya
Pada dengan percetakan “Soeloeh Merdeka” yang disita Inggeris pada 4 Juli 1946.
Di Sumatera Tengah, percetakan “Oetoesan Soematra” dihancurkan Sekutu, dan
kegiatan penerbitan terhenti pada akhir tahun 1946. Saat agresi ke – I,
“Tjahaya Padang” berhenti terbit karena pimpinan dan karyawannya ditawan
Belanda bersamaan dengan ditembak mati Walikota Padang Bagindo Azis Chan
sebagai pendiri Tjahaya Padang. Sedangkan di Palembang, kantor surat kabar
“Obor Rakjat” menjadi sasaran penembakan Belanda.
Kondisi pers pada era ini, tidak dapat dikatakan
sebagai berada dalam authoritarian of the press, karena walaupun berada dalam
keadaan berbagai bentuk tekanan oleh pemerintah Belanda, pers telah
menempatkan diri sebagai pers perjuangan. “Kala itu pers Indonesia dengan sama
sekali tidak berpretensi sebagai pahlawan, menunaikan tugas dan kewajiannya
dengan segala keikhlasan dan penuh semangat pengabdian mempertahanan dan
mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
itu[3]. Perjuangan mempertahankan
kemerdekaan inilah yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang
harus dipertahankan. Kalau merujuk kepada Siebert[4] dan kawan-kawan kebebasan
pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory. Karena
menurut teori ini, bahwa manusia tidak perlu tergantung kepada kekuasaan
(kekuasaan Belanda) dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari
kebenaran, karena kebenaran itu merupakan hak azasi.
Radio
Rimba Raya juga berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang
kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio
sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya
yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo. berita tentang Kemerdekaan Republik
Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu
(Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan
Eropa.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan
umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman
dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba
Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni
bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab. Dalam tempo enam bulan mengudara,
radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan
di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain
berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya
juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar
tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya
diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil
Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.Radio ini terus berperan sampai
saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27
Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
F. Berakhirnya Revolusi
Fisik
1. Perjuangan mewujudkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesi
(NKRI)
kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan,
Belanda tetap saja tidak mau mengakui kelahiran negara Indonesia. Belanda masih
ingin menguasai wilayah Indonesia. Masa-masa revolusi fisik merupakan masa yang
cukup berat bagi bangsa Indonesia karena disamping harus berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya harus juga berjuang mewujudkan
negara kesatuan RI. Wilayah Indonesia telah dipecah-pecah oleh Belanda. Oleh
karena itu, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah yang
menjadi miliknya melalui perjuangan diplomasi maupun angkat senjata.
2. Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak
Internaisonal melakukan tekana kepada Belanda, terutama USA yang mengancam akan
menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda
bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 27 mei 1949, RI dan
Belanda menyepakati perjanjian Roem Royen. Perjanjian ini merupakan perundingan
yang membuka jalan ke arah terlaksananya Konferensi Meja Bundar yamg menjadi
cikal bakal terwujudnya NKRI. Perundingan ini dilakukan untuk meredakan konflik
Indonesia-Belanda setelah bangsa Indonesia dengan gigih mempertahankan
wilayahnya dari segala agresi Belanda. Inti dari perjanjian ini yaitu akan
dilaksanakanya KMB yang akan membahas tentang kedaulatan bangsa Indonesia.
3. Konferensi Inter-Indonesia
Sebagai tindak lanjut dari perjanjian Roem
Royen, pada tanggal 22 juni 1949 diadakan perundingan formal antara RI. Hasil
konferensi Inter-Indonesia yang disetujui bersama, antara lain :
1) NIS
disetujui dengan nama RIS
2) Angkatan
perang RIS adalah angkatang perang Nasional
Selain itu, disetujui pula bahwa bendera
kebangsaan adalah sang saka Merah Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya,
bahasa nasional adalah Bahasa Indonesia, dan hari nasional adalah tanggal 17
agustus.
4. Konferensi Meja Bundar dan Pengakuan Kedaulatan
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan
antar pemerintah RI dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23
agustus hingga 2 november 1949, yang menghasilkan kesepakatan bahwa Belanda
mengakui kedaulatan RIS. Sesuai dengan hasil KMB, pada tanggal 27 desember 1949
berlangsung upacara pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda kepada
pemerintah RIS.
5. Peran
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda
PBB turut membantu dan berusaha menyelesaikan
pertikaian bersenjata anatar Indonesia-Belanda selama masa revolusi fisik
(1945-1950). Pada tanggal 24 januari 1949 Dewan Keamanan PBB bersidang dan
dalam sidang tersebut Amerika mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semui
negara anggota, yaitu :
1) Membebaskan Presiden dan Wakil Presidan
serta pemimpin RI yang ditangkap pada 19 desenber 1948
2) Memerintahkan KTN agar memberikan laporan
lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak 19 desember 1948.
Dengan pengakuan kedaulatan tanggal 27 desember
1949, maka berakhirlah masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secar de jure
pihak Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS. Namun atas
kesepakatan rakyat Indonesia tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan
dibentuk NKRI. Selanjutnya pada tanggal 28 september 1950, Indonesia di terima
menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia
secara resmi telah di akui dunia
BAB III
PENUTUP
Masa-masa revolusi fisik merupakan masa yang
cukup berat bagi bangsa Indonesia karena disamping harus berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya harus juga berjuang mewujudkan
negara kesatuan RI. Wilayah Indonesia telah dipecah-pecah oleh Belanda. Oleh
karena itu, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah yang
menjadi miliknya melalui perjuangan diplomasi maupun angkat senjata. aceh ikut menyumbangkan pesawat pertama bagi indonesia yaitu seulawah 001 yang kemudian berubah menjadi RI 002 kemudian mejadi cikal bakal terbentuknya garuda indonesia, serta bangsawan aceh ikut menyumbang pembangunan ibu kota jakarta seperti jalan-jalan tol dan emas di puncak tugu monas oleh teuku markam.
Akhirnya usaha Belanda untuk menguasai kembali
Indonesia gagal karena ada perlawanan bangsa Indonesia dan dukungan
Negara-negara yang bersimpati terutama Amerika Serikat. Bagaimanapun juga
kemenangan pihak Belanda yang hampir tercapai ini, banyak menolong untuk menggalang
kebhinekaan bangsa Indonesia menjadi sebuah republik kesatuan yang bersepakat
terhadap apa yang ditentangnya, seandainya bukan selalu menyepakati apa yang
disokongnya. Dengan demikian, akhirnya pihak Belanda harus melupakan usahanya
membentuk imperium di Indonesia dan meninggalkan suatu warisan persatuan yang
sangat berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Moedjanto. 1993. Indonesia
Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Ricklefs. 2008. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
http://faisaljufri.blogspot.com/2010/12/masa-revolusi-fisik-indonesia-1945-1950.html
No comments:
Post a Comment