Monday, June 4, 2012

Pengaruh Hindu di Aceh



Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam, masih dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Hal ini disebabkan, sebelum Islam masuk, Hindu telah berkembang di Aceh. Setelah Islam masuk, unsur-unsur Hindu dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.
Asimilasi budaya Aceh, pernah disinggung oleh Teuku Mansoer Leupeung, Uleebalang yang dikenal sebagai pujangga. Dalam hikayat Sanggamara, tokoh yang hidup seangkatan dengan Teuku Panglima Pole mini mengisahkan.
Adat Aceh bak riwayat
Bacut sapat dudoe teuka
Peutama phon dalam kitab
Bangsa Arab nyang peuteuka
Nyang keudua bak Meulayu
Nibak Hindu dengan Jawa
Nibak Cina na sigeuteu
Adat badu ngon Manila
 Bangsa Jawa ngon Meulayu
Le that teungku keunan teuka
Hingga rame nanggroe makmu
Meurah breuh bu meuhai lada
Bak peukayan dum ban laku
Ureung Hindu nyang peuteuka

Cuba tilek tingkah laku
Bajei Badu ladom pih na
Susoen bahsa Ara Meulayu
Barat timu bacut biza
Bahsa Arab na sigeuteu
Jampu bawu laen pih na
Walau Islam telah kuat, sebahagian tradisi dan cara hidup Hindu ada yang terus melekat pada masyarakat Aceh. Bahkan tradisi yang bersifat positif terus dipertahankan, seperti tradisi hidup bergotong royong dan berbagai tradisi lainnya yang kemudian unsur hidupnya diganti secara bertahap dengan syariat Islam.
Tradisi-tradisi Hindu yang telah diislamkan tersebut masih ada sampai sekarang, seperti pada acara khanduri laoet ( kenduri laut ) yang dilakukan oleh para nelayan. Dulu pada acara kenduri laut ini, darah kerbau itu ditampung, asoe dalam (organ dalam) kerbau tersebut beserta kepala, dibungkus kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.
Acara kenduri laut ini masih bertahan sampai sekarang, tetapi seiring dengan masuknya Islam, pemberi sesajen untuk penghuni laut dihilangkan, upacara pembuatan sesajennya diganti dengan kenduri dan doa bersama. Daging sapi atau kerbau yang disembelih tersebut dimakan bersama anak yatim dan fakir miskin agar hajatan yang dilakukan tersebut mendapat berkah.
Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka (pintu air) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.
Selain itu peusijuek (tepung tawar) barang-barang berharga yang baru dibeli seperti kereta dan  mobil, dengan menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar rumput tersebut yang telah diikat, air dipercikkan ke barang yang ditepung tawarkan.. Acara peusoen  atau  peusijeuk  orang yang baru sembuh dari sakit atau pulang dari bepergian jauh juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu.
Begitu juga acara belah kelapa pada saat peutreun aneuk miet ( membawa keluar rumah bayi pertama kali ) juag merupakan tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakaian Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang.
Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan  budaya Hindu.
Bekas-bekas kerajaan masih dapat kita temukan walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong.
Mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.

Perebutan tahta Ratu Safiatuddin terhadap perkembangan kerajaan aceh Darussalam (1641-1675)



Ratu Safiatuddin merupakan kepemimpinan perempuan pertama di tahta kerajaan Aceh. Ia dinobatkan sebagai ratu menggantikan suaminya Iskandar Tsani.
Ratu Safiatuddin dalam khasanah sejarah Kerajaan Aceh dikenal dengan nama Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah. Memerintah di Kerajaan Aceh dari tahun 1641 – 1675 masehi.
Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah merupakan wanita pertama yang diangkat menjadi sultanah di kerajaan Aceh Darussalam. Ratu Safiatuddin diangkat pada saat Aceh dalam keadaan pergolakan politik, sosial, dan budaya yang tidak stabil karena kaum laki-laki tidak siap dipimpin oleh kaum perempuan.

Setelah Iskandar Thani wafat tidak ada pengganti laki-laki yang dari ketururunan Iskandar Muda atau keluarga dekat. Sehigga terjadi kericuhan dalam kerajaan aceh darussalam untuk mencari pengganti sultan. Sebagian dari kalangan ulama mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin sedangkan sebagiannya lagi mengatakan membolehkan wanita menjadi pemimpin. Ulama yang memperbolehkan bahwa wanita hanya dilarang menjadi imam dalam shalat sedangkan untuk menjadi pemimpin urusan dunia seperti menjadi sultanah tidak dilarang. Sedangkan pada saat itu satu-satunya orang yang dari keturunan Iskandar Muda adalah Ratu Safiatuddin yang  berhak mewarisi tahta kerajaan karena Sultan Iskandar Muda hanya memiliki seorang puteri.

Para kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan tertentu. Sehingga seorang Ulama Besar, yang bernama Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan dalam pemilihan pemimpin dengan menolak pendapat kaum Ulama, akhirnya diangkatlah Safiatuddin menjadi ratu di kerajaan aceh darussalam.

Ratu Safiatuddin sangat gemar terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Ketika Safiatuddin berumur 7 tahun sering belajar dengan Iskandar Thani dan putri istana lainnya pada para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar raniri, Syekh Kamaluddin dan lainnya. Karena latar belakang pendidikan Safiatuddin terhadap pengembangan dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dikelola oleh Hamzah Fansuri.

Selain pengembangan ilmu pengetahuan, Safiatuddin juga melakukan pembangunan terhadap pertahanan militer dengan membentuk pasukan khusus wanita yang bertugas mengawal istana sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan terhadap keamanan kerajaan aceh Darussalam, Safiatuddin juga memeriksa dan mengontrol pasukan khusus dengan menunggang kuda. Yang juga turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Safiatuddin juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.

Safiatuddin dalam menyejahterakan masyarakat sangat serius terutama janda dan anak korban perang di Malaka tahun 1640. Untuk mereka dibangunkan sebuah kota yang terkenal dengan nama kota Inong Balee yaitu di Krueng Raja yang pembangunannya dibiayai dengan uang kerajaan dan zakat. Kota ini dijaga ketat oleh pasukan agar para janda dan anak-anak korban perang dapat hidup dengan aman dan layak dengan diberikan tunjangan uang kepada janda-janda dan pengurus anak-anak.
Di dalam bidang militer. Safituddin lebih berperan terhadap pembangunan pendidikan, ekonomi, dan sosial terutama dalam bidang pengembangan agama di masyarakat. Dalam pengembangan agama, Safiatuddin dibantu oleh Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan Syeikh Abdul Rauf Singkel yang dikenal dengan Syiah Kuala. Syeikh Abdul Rauf mempunyai pengaruh yang besar di Aceh karena pengetahuannya yang luar biasa, sehingga bisa diterima semua kalangan masyarakat.

Pada saat Situasi kerajaan aceh Darussalam menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari kalangan yang tidak senang terhadap pemerintahan Safiatuddin sebagai sultanah. Kondisi semakin kacau dengan keberadaan sebagian orang yang menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit. Sehingga peranan kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun menjadi meningkat tajam, terutama setelah barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Oleh karena itu, Safiatuddin dalam mengendalikan pemerintahan kerajaan aceh darussalam dalam situasi yang sangat sulit dan kritis.

Safiatuddin dalam memimpin kerajaan aceh darussalam dengan pengembangan sistem pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian dengan menjadi perhatian utamanya. Dalam sistem keagamaan Safiatuddin menjadikan peranan yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, mengutuskan para ulama Aceh untuk pergi ke Siam (Thailand) untuk menyebarkan agama Islam. Dengan peranan ini menjadi penyebab dukungan para ulama terhadap Safiatuddin.
Peranan yang di tempuh dalam pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin meminta Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab yang dikenal Mir'at al Tullab, yang berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan mengenal segala hukum syara' Allah. Dalam menjalankan roda pemerintahan yang berlangsung lama pada masa Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum masyarakat menerima kepemimpinannya. Meskipun pada kenyatan tidak sehebat kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda.

Era pemerintahan Safiatuddin di kenal dengan zaman emas ilmu pengetahuan dalam kerajaan aceh Darussalam. Dengan banyak muncul ulama besar seperti syekh Nurdin Ar-Raniry, syekh Abdurrauf Syiah Kuala, syekh jalaludin Tursany, dan lain-lain. Mendorong para ulama untuk mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu, di dalam nukaddimah buku tersebut adalah anjuran dari Safiatuddin, seperti buku Hidayatul Iman Fi Fadhlil Manan karya Nurdin Ar-Raniry dan buku Miratuth Thullab karya Abdurrauf Syiah Kuala. Pada masa pemerintahan Safiatuddin telah menyelesaikan 30 judul buku, sedangkan Abdurrauf menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu yang menjadi pusat peradaban perkembangan ilmu pengetahuan di Asis Tenggara.

Karena prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya bersangkutan soal-soal keagamaan seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, khususnya menyangkut masalah paham wujudiyah. Dalam hal perekonomian, Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan kehidupan ekonomi. Sumber utama perekonomian ketika itu, selain dari hasil tambang emas, adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di mana Belanda tidak diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh, bahwa setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak masuk sebesar 5 persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu, setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang bersangkutan.

Salah satu kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman dari luar, ancaman dari luar khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam makalah ini.

Walaupan dalam kemiliteran mengalami kelemahan, namun Safiatuddin dianggap sebagai pemimpin wanita Aceh yang berhasil. Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal Safiatuddin kerajaan Aceh diperintah oleh seorang wanita lainnya yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah.


Pocut Meurah Intan, Sang Ratu Perang



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgniQH8G3n1qJv2kjgRd6vIZDNsDsLws-Tov8CQmqGr4YdaVGNqLmnok5Yl4oWz-RDvuwr8nOIGRe-Et_y1gSBZiJGECH3aN7xo7H3Cn_BfluQJsEN8lse5akcEZUuT_IXkFxdPEOQ7ta4/s400/68108_138204976233562_127876370599756_183432_5795503_n.jpg
Pocut Meurah Intan 
         
          Tak bisa terbantahkan lagi, Aceh menjadi gudang penghasil pahlawan perempuan. Tentu saja sebutan itu bukan asal sebut. Mari kita buka lembar sejarah bumi jeumpa ini, maka sederet nama-nama pejuang atau pemimpin perempuan Aceh tersuguhkan. Kisah pun tak kalah heroik dengan kaum agam alias pria.

            Ini adalah sebuah kisah yang dituliskan oleh Zentgraft, mantan serdadu Belanda di masa penjajahan yang beralih profesi menjadi wartawan. Ia meliput perang antara Aceh dan Belanda.  Suatu ketika, pada 11 November 1902, di Gampong Biheu antara Kota Sigli danPadang Tiji, pasukan Marsose Belanda berpatroli rutin mencari pejuang Aceh. Di bawah komando Letkol T.J. Veltman, pasukan itu menelusuri jalan-jalan di Biheu. Senjatanya lengkap, ada karabin dan kelewang. Jumlahnya 18 orang.

            Tiba di sebuah persimpangan jalan, Marsose berpaspasan dengan seorang perempuan. Seorang Marsose menaruh curiga ada sesuatu yang menyembul dari balik sarungnya. Perempuan itu disuruh berhenti. Marsose ingin memeriksanya. Sewaktu hendak digeledah,   perempuan itu mengeluarkan sebilah rencong dari balik sarungnya.

            Zentgraf melukiskan keberanian Pocut Meurah Intan. Veltman yang terkenal dengan sebutan tuan pedoman tetapi juga seorang yang baik hati menaruh hormat kepada seorang wanita Aceh. Pocut meneriakkan lebih baik mati daripada disentuh oleh pasukan Marsose. Ia pun menyerbu brigade Belanda. Namun Marsose kurang bernafsu bertempur dengan seorang wanita. Demikian  tulis Zentgraf.

            Pocut Meurah Intan bersuamikan Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.

            Dalam tulisan  itu, Zentgraf sangat kagum pada keberanian Pocut Biheu. Bagaimana tidak, dengan seorang diri, ia menyerbu sebuah brigade yang terdiri 18 pucuk karaben dan kelewang-kelewang tajam.

            Tentu saja, ini perlawanan yang tidak seimbang yang akibatnya pocut mengalami luka-luka parah. Dua tatakan parang di kepalanya, dua di bahunya dan satu di otot tumitnya putus. Tak terpikir untuk menyerah. Semangatnya tak pernah mundur walaupun ia rubuh bersimbah darah dengan rencong yang masih tergenggam erat di tangan kanannya.

            Seorang sersan diantara pasukan Veltman merasa iba kepada Pocut. Ia bermaksud mengakhiri penderitaaan Pocut. "Bolehkah saya melepaskan tembakan pelepas nyawanya?" Veltman menjawab dengan membentak, "Apa kau sudah gila!" sebagaimana yang dituliskan Zentgraf.

            Lalu pasukan Belanda meneruskan patroli, membiarkan Pocut terkapar sebelum akhirnya ditemukan oleh sanak keluaganya untuk diobati. Berkat perawatan itu akhirnya Pocut berhasil melewati masa kirtis. Beberapa hari kemudian, Letnan Veltman yang juga bisa berbahasa Aceh berjalan-jalan di Keude Biheu. Dia kaget  mendengar Pocut Meurah masih hidup bahkan berencana membunuh penduduk yang berkhianat kepadanya dalam mukim itu. Velmant seakan-akan tidak percaya Pocut masih hidup. Untuk mendapatkan kepastian,  ia membawa pasukannya mengepung desa dan merazia  satu-satu persatu rumah penduduk,   akhirnya menemukan Pocut dalam sebuah rumah penduduk di balik tumpukan kain-kain tua.


Diburu Untuk Dihormati

            Atas kejadian Itu Zentgraf menukilkan sungguh suatu hal yang dungu sekali bahwa dalam sosok tubuh yang begitu rusak masih bersemi semangat yang agung sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah, dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan. Walaupun begitu ia tetap menolak  bantuan dokter. "Lebih baik  mati daripada tubuhku dijamah oleh seorang kaphe,"katanya. Kemudian Velmant dengan bahasa Aceh yang fasih mencoba membujuk Pocut agar mau diobati dan akhirnya Pocut menerima bantuan dari serdadu itu.

            "Orang Aceh sangat sportif, serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan dapat sama-sama menghargai. Wanita itu membiarkan dirinya dirawat olehnya, ia membersihkan luka-luka yang berulat, kemudian membalutnya dengan baik." Catat Zengraft dengan sempurna.

Kabar  keberanian Pocut tersebar ke seluruh Nusantara. Adalah Kolonel Scheur, komandan militer dari Jawa yang baru saja menaklukkan puri cakra negara di Pulau Lombok sengaja datang ke Biheu untuk berjumpa dengan Pocut Biheu pada masa ia belum sembuh sepenuhnya. "Dihadapan wanita itu, ia mengambil sikap sebagai seorang prajurit dan memberi hormat dengan meletakkan jari-jarinya di pinggir topi petnya. Sesampainya ia di depan Pocut Biheu ia berkata kepada Veltman "katakan kepadanya bahwa saya merasa sangat kagum kepadanya" Veltman pun menyampaikan hal itu kepada Pocut. "Pada wajah wanita itu terkulum sebuah senyum, "kaphe ini boleh juga"pikirnya" Zentgraf (1989:128-130).

            Beberapa waktu lamanya akhirnya Pocut Biheu sembuh dengan tetap cacat. Kakinya pincang ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan bahkan menjadi pemimpin perlawanan, walaupun akhirnya ia berhasil ditangkap dan dibuang ke Blora Pulau Jawa. Akhirnya, ia syahid pada 19 September 1937 dan dimakamkan di sana. Hingga saat ini, Nama Pocut Meurah Intan di tabalkan pada salah satu Taman Hutan Raya (TAHURA) di kawasan Puncak Gunung Selawah.

            Begitulah Pocut Biheu, Wanita yang sangat dimusuhi sekaligus sangat dikagumi oleh Belanda. Bahkan Veltman menggelarinya Heldhafting ( Yang Gagah Berani). Sejarah kegigihan Pocut setidaknya menepis anggapan bahwa adat Aceh mengukung atau mengekang peran perempuan. Pocut membuktikan Inoeng Aceh  mampu berperang seperti layaknya teungku-teungku dan ulama-ulama, Yang pada masa itu tidak pernah memfatwakan bahwa perempuan haram menjadi seorang pemimpin. 

10 Pahlawan Wanita Perkasa Dari Aceh



Perempuan millenium Indonesia masih berjuang menegakkan kesamaan haknya – yang terinspirasi oleh “gerutuan” R.A. Kartini. Namun, 7 abad lalu perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai manusia yang setara tanpa perdebatan. Barangkali selama ini yang kita kenal pahlawan perempuan dari Aceh mugkin hanya Cut Nyak Dien saja. Hal ini dapat dipahami karena perjuangan heroiknya melawan Balanda sudah difilmkan, dimana pemeran sebagai Cut Nyak Dhien adalah Christine Hakim.
Akan tetapi sebenarnya Cut Nyak Dhien hanyalah satu dari sekian banyak perempuan Aceh yang memiliki kehebatan yang luar biasa di Aceh. Dan itu sudah ada jauh sebelum isu emansipasi dikembangkan. Sebab peran mereka melebihi peran para laki-laki pada saat itu.
Di Matangkuli, Kecamatan Minye Tujoh, Aceh Utara, terdapat sebuah makam kuno yang pada nisannya bertuliskan Arab dan Jawa Kuno. Dituliskan di nisan itu, orang yang dimakamkan adalah Ratu Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ? Ilah Nur adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai. Keterangan itu juga dapat diperoleh di kitab Negara Kartagama tulisan Prapanca. Disebutkan, Samudera Pasai merupakan daerah yang ditaklukkan oleh Hayam Wuruk, dengan Patihnya Gajah Mada. Buku Hikayat Raja Raja Pasai juga menyebutkan tentang kekuasaan Majapahit terhadap Pasai. Setelah segala sesuatunya diatur di Pasai, laskar Majapahit kembali ke Jawa. Namun, sebelum kembali, pembesar-pembesar Majapahit mengangkat seorang Raja, yaitu Ratu Nur Ilah. Ratu Nur Ilah merupakan keturunan Sultan Malikuzzahir. Tidak banyak keterangan yang didapatkan oleh peneliti tentang masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini.
Perempuan Aceh memang luar biasa. Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan, pekerjaan peperangan pun, yang biasanya seluruhnya dilakukan oleh kaum pria, diterjuninya pula. Mereka menjadi panglima, memimpin ribuan laskar di hutan dan di gunung-gunung. Bahkan ada laskar wanita yang disebut Inong Bale. Mereka ini para janda yang menuntut kematian suaminya. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya bila suaminya berpaling muka kepada Belanda. Kaum pria Aceh pun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi dan rela pula menjadi anak buahnya. Diantaranya mereka yang amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nyak Dhien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya.
Beberapa periode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan. Selain Ratu Nur diatas, ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi uleebalang (penguasa lokal). Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak disebut-sebut oleh pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini oleh peneliti barat disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan Katherina II Kaisar Rusia.
1. Ratu Nahrasiyah
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/tzeheytc.jpg?w=640
Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang memerintah lebih dari 20 tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan – dimana disisi depan mata uang tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”.
Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudera. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.
2. Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/plolyigu.jpg?w=640
Bersyukur bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah yang lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal. Menantunya lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun memerintah, ia meninggal (15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan. Tiga hari setelah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat sang permaisuri menjadi raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul pertentangan. Ada dua alasan. Pertama Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan kedua, soal kelayakan perempuan menjadi raja. Persoalan tersebut diserahkan kepada ulama senior yang sangat berpengaruh saat itu, yaitu Tengku Abdurrauf dari Singkil. Ia menyarankan pemisahan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum Islam, Syafiatuddin memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu, Syafiatuddin memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Para ulama juga mengeluarkan fatwa, bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan sepanjang keduanya tidak saling bertentangan.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan adanya perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama. Sultanah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal kemeliteran. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat mendorong para ulama dan cerdik pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dalam ekonomi, ia menerbitkan mata uang emas dan menerapkan cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan kenegaraan, ia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (Angkatan Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai Fardah (Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai dan mengeluarkan mata uang).
Selain itu, Sultanah membentuk lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balai Rungsari (institusi yang terdiri empat uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR yang beranggotakan 73 orang yang mewakili daerah pemukiman). Yang menarik adalah, diantara 73 anggota dewan tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah seorang raja besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23 Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiatuddin Syah tetap dihormati dengan mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan. Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah.
3. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/ratu-inayat-zakiatuddin-syah.jpg?w=640
Naqiatuddin Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Pada masa pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari benteng yang dipersenjatai itu. Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Dari utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah. Sekembali ke Mekkah, utusan melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam. Sama halnya dengan dua ratu sebelumnya, Zakiatuddin Syah mengeluarkan mata uang sendiri. Ratu meninggal 3 Oktober 1688 lalu digantikan oleh Kamalat Zainatuddin Syah.
4. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melukakan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan – menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri. Untuk situasi sekarang, sistim pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal lain yang dilakuakan oleh Sultanah adalah mengeluarkan mata uang emas. Masa pemerintahannya yang singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang dicapainya. Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya Baiturrahman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.
5. Ratu Kamalat Zainatuddin Syah
Silsilah ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya. Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang emas
6. Laksamana Malahayati atau “Keumalahayati”
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/laksamana-keumalahayati.jpg?w=640Wanita Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana (Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak muncul dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri. Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam militer dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.
John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di berbagai tempat kekuasaan Aceh. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Karena mendapat hasutan dari Portugis, Laksamana Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda – sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.
Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh. Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.
7. Cut Nyak Dien
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/cut-nyak-dien.jpg?w=640Nama Cut Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya.
Karena Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke tangan Belanda – termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan keluarganya terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim dan pengikutnya gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi janda muda, namun tetap cantik. Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin membara. Lalu terucaplah janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian suaminya, akan diterimanya sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya menebus kematian suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku Umar. Bersama Cut Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan Belanda. Cut Nyak Dien dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari pernikahannya dengan Teuku Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Kemudian anaknya dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku Cik Di Tiro. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien kembali menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri.
“… selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan …” bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. Ia memimpin peperangan dari persembunyianya di gunung-gunung.
Kehidupan Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apa–apa lagi kecuali semangat pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai berpikir menyerah sebagai jalan membebaskan Cut Nyak Dien dari penderitaan. “Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku,” ujar Cut Nyak Dien. Namun, Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Pang Laot Ali membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata “Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.
8. Cut Meutia
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/cut-meutia.jpg?w=640Memegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai, tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona.
Banyak pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya. Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya sendiri. Pandangan dan kepribadiannya seperti itu sangat bertentangan dengan suaminya yang senang kedudukan, kemewahan serta mengagungkan martabat tinggi.
Untuk memenuhi kesenangannya, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia memangku uleebalang atas pilihan Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah sudah mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku Syamsarif sebagai uleebalang. Jadi, ketika itu, di Keureutoe terdapat dua uleebalang. Kakak beradik itu bagai langit dan bumi. Sang kakak berkiblat kepada Belanda, sedangkan sang adik berpihak kepada kemerdekaan.
Antara Cut Meutia dengan Teuku Syamsarif seperti campuran minyak dengan air. Cut Meutia sudah berusaha membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah, tetapi tidak pernah ditanggapi. Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia meminta diceraikan saja oleh suaminya. Akhirnya Cut Meutia kembali kepada orangtuanya. Karena Teuku Syamsarif tidak menjemputnya dan juga memberikan nafkah, maka mereka dianggap sudah bercerai. Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas bebas sudah. Ia pun ikut bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Namun, Teuku Ben Daud tidak mengizinkannya karena yang ia seorang janda. Kemudian ia dinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar ikut angkat senjata. Seterusnya ia mendampingi suaminya berperang. Tanggal 5 Maret 1905, Teuku Chik Tunong tertangkap kemudian dihukum tembak. Sebelum dijatuhi hukuman, ia meminta bertemu dulu dengan Cut Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi, 5 tahun. Ia berpesan agar melanjutkan perlawanan terhadap Belanda, anaknya dididik agar terus mempunyai kebencian terhadap Belanda. Cut Muhammad menyarankan menikah Cut Meutia dengan Pang Naggore.
Pang Nanggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Setelah melahirkan anaknya dari Chik Tunong, akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Bersama suaminya yang ketiga ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan sampai akhirnya ditemukan Belanda. Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku Raja Sabi.
9. Pocut Baren
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/pocut-baren.jpg?w=640Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh. Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910.
Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih aktif dalam perjuangan. Ia telah mempersiapkan dirinya – bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah semakin menggebu.
Suatu penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung membaik. Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan pengobatan lebih intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi. Selama dalam tawanan, Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya – yang didatangkan khusus dari Belanda. Ia wafat tahun 1933. Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.
10. Pocut Meurah Intan
http://koetaradja.files.wordpress.com/2011/04/pocut-meurah-intan.jpg?w=640Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Pocut Meurah menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih menantang kehadiran Belanda. Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak laki-laki. Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan. Valtman, pemimpin pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu, biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran Intan. Lalu ia mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami luka parah. Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia tewas lalu meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan. Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun, Pocut Meuran menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Kemudian, bersama putranya, Pocut Meurah Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara. Sementara putranya yang lain, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan sampai kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.




PAHLAWAN ACEH - Aceh's Hero
Aceh adalah sebuah bangsa yang sangat gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan ini dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah Pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya, diantaranya sembilan jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda. Diantara para pahlawan Aceh tersebut adalah sbb:

Sultan Iskandar Muda | Teuku Umar | Panglima Polem | Teuku Nyak Arief | Teungku Fakinah | Teungku Chik Ditiro | Teuku Chik Di Tunong ## Perempuan Pejuang Aceh: Ratu Nihrasiyah | Laksamana Keumalahayati | Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen | Divisi Kemala Cahaya | Ratu Safiatuddin | Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah | Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah | Ratu Kumala Syah | Cut Nyak Dhien | Cut Nyak Meutia | Pocut Baren | Pocut Meurah Intan