Ratu Safiatuddin merupakan kepemimpinan perempuan pertama di tahta kerajaan
Aceh. Ia dinobatkan sebagai ratu menggantikan suaminya
Iskandar Tsani.
Ratu Safiatuddin dalam khasanah sejarah Kerajaan Aceh dikenal dengan nama
Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah. Memerintah di Kerajaan Aceh dari tahun
1641 – 1675 masehi.
Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah merupakan
wanita pertama yang diangkat menjadi sultanah di kerajaan Aceh Darussalam. Ratu
Safiatuddin diangkat pada saat Aceh dalam keadaan pergolakan politik, sosial,
dan budaya yang tidak stabil karena kaum laki-laki tidak siap dipimpin oleh
kaum perempuan.
Setelah Iskandar Thani wafat tidak ada pengganti laki-laki yang dari ketururunan Iskandar Muda atau keluarga dekat. Sehigga terjadi kericuhan dalam kerajaan aceh darussalam untuk mencari pengganti sultan. Sebagian dari kalangan ulama mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin sedangkan sebagiannya lagi mengatakan membolehkan wanita menjadi pemimpin. Ulama yang memperbolehkan bahwa wanita hanya dilarang menjadi imam dalam shalat sedangkan untuk menjadi pemimpin urusan dunia seperti menjadi sultanah tidak dilarang. Sedangkan pada saat itu satu-satunya orang yang dari keturunan Iskandar Muda adalah Ratu Safiatuddin yang berhak mewarisi tahta kerajaan karena Sultan Iskandar Muda hanya memiliki seorang puteri.
Para kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan tertentu. Sehingga seorang Ulama Besar, yang bernama Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan dalam pemilihan pemimpin dengan menolak pendapat kaum Ulama, akhirnya diangkatlah Safiatuddin menjadi ratu di kerajaan aceh darussalam.
Ratu Safiatuddin sangat gemar terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Ketika Safiatuddin berumur 7 tahun sering belajar dengan Iskandar Thani dan putri istana lainnya pada para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar raniri, Syekh Kamaluddin dan lainnya. Karena latar belakang pendidikan Safiatuddin terhadap pengembangan dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dikelola oleh Hamzah Fansuri.
Selain pengembangan ilmu pengetahuan, Safiatuddin juga melakukan pembangunan terhadap pertahanan militer dengan membentuk pasukan khusus wanita yang bertugas mengawal istana sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan terhadap keamanan kerajaan aceh Darussalam, Safiatuddin juga memeriksa dan mengontrol pasukan khusus dengan menunggang kuda. Yang juga turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Safiatuddin juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Safiatuddin dalam menyejahterakan masyarakat sangat serius terutama janda dan anak korban perang di Malaka tahun 1640. Untuk mereka dibangunkan sebuah kota yang terkenal dengan nama kota Inong Balee yaitu di Krueng Raja yang pembangunannya dibiayai dengan uang kerajaan dan zakat. Kota ini dijaga ketat oleh pasukan agar para janda dan anak-anak korban perang dapat hidup dengan aman dan layak dengan diberikan tunjangan uang kepada janda-janda dan pengurus anak-anak.
Di dalam bidang militer. Safituddin lebih berperan terhadap pembangunan
pendidikan, ekonomi, dan sosial terutama dalam bidang pengembangan agama di
masyarakat. Dalam pengembangan agama, Safiatuddin dibantu oleh Syeikh Nuruddin
Al-Raniri dan Syeikh Abdul Rauf Singkel yang dikenal dengan Syiah Kuala. Syeikh
Abdul Rauf mempunyai pengaruh yang besar di Aceh karena pengetahuannya yang
luar biasa, sehingga bisa diterima semua kalangan masyarakat.
Pada saat Situasi kerajaan aceh Darussalam menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari kalangan yang tidak senang terhadap pemerintahan Safiatuddin sebagai sultanah. Kondisi semakin kacau dengan keberadaan sebagian orang yang menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit. Sehingga peranan kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun menjadi meningkat tajam, terutama setelah barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Oleh karena itu, Safiatuddin dalam mengendalikan pemerintahan kerajaan aceh darussalam dalam situasi yang sangat sulit dan kritis.
Safiatuddin dalam memimpin kerajaan aceh darussalam dengan pengembangan sistem pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian dengan menjadi perhatian utamanya. Dalam sistem keagamaan Safiatuddin menjadikan peranan yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, mengutuskan para ulama Aceh untuk pergi ke Siam (Thailand) untuk menyebarkan agama Islam. Dengan peranan ini menjadi penyebab dukungan para ulama terhadap Safiatuddin.
Peranan yang di tempuh dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dengan mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu
pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu
pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin meminta
Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab yang dikenal Mir'at al Tullab, yang
berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan mengenal segala hukum syara'
Allah. Dalam menjalankan roda pemerintahan yang berlangsung lama pada masa
Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum masyarakat menerima kepemimpinannya.
Meskipun pada kenyatan tidak sehebat kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar
Muda.
Era pemerintahan Safiatuddin di kenal dengan zaman emas ilmu pengetahuan dalam kerajaan aceh Darussalam. Dengan banyak muncul ulama besar seperti syekh Nurdin Ar-Raniry, syekh Abdurrauf Syiah Kuala, syekh jalaludin Tursany, dan lain-lain. Mendorong para ulama untuk mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu, di dalam nukaddimah buku tersebut adalah anjuran dari Safiatuddin, seperti buku Hidayatul Iman Fi Fadhlil Manan karya Nurdin Ar-Raniry dan buku Miratuth Thullab karya Abdurrauf Syiah Kuala. Pada masa pemerintahan Safiatuddin telah menyelesaikan 30 judul buku, sedangkan Abdurrauf menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu yang menjadi pusat peradaban perkembangan ilmu pengetahuan di Asis Tenggara.
Karena prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya
bersangkutan soal-soal keagamaan seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam
soal-soal teknis pemerintahan. Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang
persatuan di kalangan rakyatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang
ditinggalkan oleh masa sebelumnya, khususnya menyangkut masalah paham
wujudiyah. Dalam hal perekonomian, Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan
kehidupan ekonomi. Sumber utama perekonomian ketika itu, selain dari hasil
tambang emas, adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing
yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.
Hal ini terlihat dari kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di
mana Belanda tidak diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap
diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh, bahwa
setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak
masuk sebesar 5 persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu,
setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di
daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung
Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap
pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang
bersangkutan.
Salah satu kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman dari luar, ancaman dari luar khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam makalah ini.
Walaupan dalam kemiliteran mengalami kelemahan, namun Safiatuddin dianggap sebagai pemimpin wanita Aceh yang berhasil. Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal Safiatuddin kerajaan Aceh diperintah oleh seorang wanita lainnya yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah.
No comments:
Post a Comment