Pendahuluan
A. Latar Belakang
Aceh (bahasa belanda: Atchin atau Acheh, bahasa inggris: Achin, bahasa
prancis: Achen atau Acheh,
bahasa arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi
atau Ache yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer.
Aceh mampu menampilkan dirinya sebagai salah satu kekuatan kemaritiman yang
kuat pada masanya. Beberapa kalangan menyatakan bahwa pada saat kekuatan
imperialis Barat mematahkan sebagian besar negara Islam, pada waktu itulah
sekitar abad ke 16 M, lahir “lima besar Islam” yang terikat dalam kerja
sama ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan, meliput:
1. Kerajaan Turki Utsmani di Istanbul
2. Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4. Kerajaan Islam Akra di Indonesia
5. Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia
Tenggara.
Di sini kita bisa mengetahui bahwa Aceh telah menjalin hubungan
Internasional, dan memegang peranan yang penting di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai negara yang terletak di gerbang utara selat Malaka, Aceh memegang
peranan yang penting dari segi pelayaran. Tak mengherankan mengapa Inggris
melarang Belanda melakukan ekspansi ke Aceh dengan menghormati kemerdekaan Aceh
melalui Traktat London, sekaligus meminimalkan gangguan atas perkembangan
Singapura yang dijadikan pusat perdagangan oleh Inggris.
Sekarang ini Aceh telah menjadi propinsi dengan status istimewa, karena
memiliki otonomi khusus dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan
Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
sebuah provinsi di
Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh
memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi
lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk
Benggala di sebelah utara, Samudra
Hindia di sebelah barat, Selat
Malaka di sebelah timur, dan Sumatera
Utara di sebelah tenggara dan selatan.
B. Batasan Masalah
Makalah ini membatasi pada perkembangan Aceh dari segi perkembangan Maritimnya
pada abad 1600 M.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal
perkembangan Aceh hingga abad ke 16?
2. Kondisi pelayaran di
selat Malaka?
3. Kebijakan kesultanan
Aceh (politik dan ekonomi) terhadap pelayaran di Selat Malaka?
Bab II Deskripsi Aceh
A. Awal Berdirinya Kesultanan Aceh
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan asal mula muncul istilah
kerajaan Aceh Darussalam. Anas Machmud, seperti dinukilkan Badri
Yatim, berpendapat bahwa kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad
ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah
(1465-1497 M). Dia yang membangun kota Darussalam. Menurutnya, pada masa
pemerintahan Muzaffar Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam
bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya
berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah
Malaka dikuasai Protugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh
Portugis tersebut, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke Utara melalui
selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan
menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Berbeda pendapat
dengan Anas Machmud, H.J. de Graaf mengatakan kerajaan Aceh
Darussalam merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu kerajaan Lamuri
dan Atjeh Darul Kamal, sedang Sultannya Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah, menurut Graaf, telah melakukan ekspansi
wilayah kekuasaan meliputi Pidie yang bekerja sama denga protugis,
kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangan terhadap kedua
kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melakukan ekspansi wilayah
kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah sumatera Timur,
sultan Aceh mengirim panglima-panglima, salah seorang di antaranya
adalah Gocah pahlawan yang menurunkan Sultan Deli dan Serdang.
Namun yang membesarkan nama kerajaan Aceh Darussalam menurut versi ini
bukanlah sultan Ali Mughayat Syah tetapi Sultan Alauddin Riayat Syah
yang bergelar al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia
menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan
Kerajaan-Kerajaan Islam yang lain di Nusantara.
B. Sistem Pemerintahan di Aceh
Wilayah Aceh terdiri atas tiga macam: daerah inti, daerah pokok, dan
daerah taklukan. Daerah inti ini merupakan wilayah dimana kerajaan inti ini
berdiri, seperti Aceh Besar. Wilayah pokok, adalah wilayah yang
dikuasai kemudian setelah Kesultanan Aceh berdiri, dan digabungkan kebawah
kedaulatan Sultan Aceh. Misanya: Pidie, Samudra Pase, Perlak, Gayo, dll.
Daerah takluk yaitu negara-negara yang menyatakan diri takluk kepada
sultan aceh atau yang dianggap oleh Aceh sebagai daerah taklukkannya.
Stratifikasi Masyarakat dalam Kerajaan Aceh
Struktur masyarakat aceh terdiri atas 3 golongan: golongan paling atas
terdiri
atas raja dengan gelar Sultan dan para keluarga dengan gelar Tuanku.
Dibawahnya terdapat bangsawan yang hidup di ibukota atapun di daerah, mereka
bergelar Teuku, sementara mereka yang tinggal dipesisir dikenal dengan nama
Tengku. Tingkat paling bawah terdiri atas rakyat biasa yang terbagi atas
berbagai tingkatan, kelompok,
dan golongan.
Secara umum terdapat dua macam kaum bangsawan. Mereka yang keturunan
raja-raja yang bergelar Tuanku, dan mereka yang berasal dari uleebalang
yang bergelar Teuku. Para uleebalang ini menguasai sebuah nagroe
(negeri), yaitu gabungan pemukiman.
BAB III Aceh sebagai Negara MaritimA. Kondisi Geografis Aceh
Wilayah Aceh cukup sukar untuk di darati dengan menggunakan kapal. Banyak
kapal yang karam ketika akan mendarat di Aceh, hanya setelah melewati teluk
yang sering mengaramkan kapal, pelaut harus memasuki muara sungai agar bisa
sampai ke darat. Saat memasuki muara ini, Aceh seakan memiliki benteng alamiah.
Ambang sungai ini sangat berbahaya untuk di lewati. Bagian muara sungai ini di
awasi dengan beberapa pucuk meriam.
Kondisi geografis seperti ini membuat Aceh tidak membangun benteng dengan
tembok-tembok yang besar. Saat orang Eropa mendarat d Aceh mereka tercengang
dengan istana sultan yang tak memiliki benteng perlindungan. Hikayat Aceh
menggambarkan bahwa gajah-gajah tempurlah yang menjadi pelindung kota Aceh.
Sebagaimana kerajaan Melayu dan Maritim lainnya, Aceh mengandalkan daerah
pedalamannya sebagai penyuplai kebutuhan pokok mereka, dan barang-barang yang
diperdagangkan. Tak heran bila ekspansi yang dilakukan Aceh dilakukan memasok
kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan yang mereka bangun.
Ada 3 jalur sebagai pintu masuk teluk Aceh yang terlindung dari pulau-pulau
Waih, Breueh, da Bunta.
- Alur
pertama terkenal sebagai alur Surate. Karena kapal-kapal yang berlayar ke
Gujarat memakai jalan ini
- yang ke
dua di beri nama alur Benggal. Karena melalui alur ini kapal berangkat
menuju Benggala dan pantai Timur India.
- Alur
ketiga tidak disebutkan secara jelas, yang khusus di gunakan oleh kapal
yang digunakan oleh kapal yang berlayar ke arah Malaka dan negeri di bawah
angin.
Pengetahuan tentang alur ini amat penting kalau tidak, kapal bisa mengalami
nasib seperti pengujung Belnda Nicolaus de Graff, yang pada tahun 1641kandas
pada karang yang terdapat dekat pulau Waih.
Setelah berhasil memasuki teluk, kesulita yang di hadapi pengunjung Banda
Aceh belum lagi selesai. Kalau belum mengenal tempatnya, maka waktu yang
diperlukan untuk mencari tempat yang baik untuk melego jangkar akan lama.
Seperti Beaulieu (Perancis) menghabiskan waktu 8 jam sebelum sauhnya menyentuh
dasar.
Bagi kapal yang hendak mendekati kota dan memasuki sungai dengan maksud
jahat, masih ada penghalang yang penting yang harus di hadapi,
yakni tembakan dari benteng yang mengawasi lalu lintas di muara sungai. Pada
tahun 1599 benteng ini belum seberapa penting, tetapi pada zaman Iskandar Muda,
menurut laporan Beaulieu (1621), beteng ini terdiri dari sebuah bastion besar
yang bundar yang menguasai sungai dengan beberapa meriam yang menjaga dua
benteng dinding yang juga di lubangi beberapa mulut meriam yang menutup pintu
pelabuhan. Apabila Davis memberitakan pada tahun 1599 bahwa ia belum pernah
melihat benteng sejelek ini.
B. Posisi Geografis Aceh dalam Perdagangan Internasional
Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Sumatra bagian
utara hingga ke wilayah semenanjung Malaya. Politik ekspansi ini memperkuat
hegemoni kekuasaan Aceh. Wilayah yang ditaklukan ini kemudian menjadi vasal.
Banyak wilayah yang di taklukan oleh Kesultanan Aceh menyebabkan memiliki
negara vasal.
Kuatnya hegemoni Aceh dalam mengusai perdagangan di daerah Sumatra Utara
dan sekitar Selat Malaka. Penguasaan atas Pahang dan Johor yang merupakan daerah
penghasil lada yang semakin memperkuat posisi ekonomi Aceh. Pada perkembangan
selanjutnya dilakukan pemusatan perdagangan di daerah Aceh yang memperkuat
keuntungan perdagangan terutama pedagang-pedagang dari barat.
C. Kebijakan Aceh dalam Pelayaran dan Perniagaan
Pungutan bea cukai yang dilakukan di pelabuhan Malaka, dapat membuat kaya
seseorang. Para pedagang yang baru saja tiba di Malaka harus membayar bea cukai
lebih dahulu sebelum dia menjual barang dagangannya. Jumlah yang harus dibayar
tergantung pada ukuran dan timbangan barang. Tarifnya pun disesuaikan dengan
jenis barang dan sedangkan jumlahnya berbeda-beda menurut negeri asalnya.
Pemilik modal pelayaran dan perdagangan :
Menurut Pires pada setiap jung yang berangkat dari Malaka ada sebagian
barang dagangan milik Sultan.
Sultan Malaka memang pernah mencarter kapal untuk mengangkut barang
jualannya. Keuntungan yang diperoleh Sultan pun sangat banyak. Apalagi Sultan
diprioritaskan dalam wilayah perdagangan (pembagian ruang (petak). Jadi Sultan
makin banyak memperoleh pundi-pundi keuntungan dari berdagang. Di Aceh pemilik
modalnya yaitu Sultan, karena dapat menginvestasikan hartanya untuk perdagangan
dan pelayaran. Selain dari perdagangan Sultan juga mendapatkan keuntungan dari
bea cukai yang di pungut dari barang impor dan pajak lainnya.
Di Sumatra salah satu daerah penghasil rempah dan lada yang di ekpor
untuk perdagangan Internasional maupun lokal dilihat dalam jaringan
hubungan maritim nusantara pada masa itu. Ketika Malaka diduduki oleh Portugis jalan
sekunder ini berkembang pesat, seperti jalan laut melalui pantai barat Sumatra
yang sudah dipelopori sebelumnya perahu –perahu yang dahulu datang untuk
mengambil lada, emas, budak dan lain sebagainya.
Keramaian di pelabuhan Banda Aceh pada zaman Sultan Iskandas Muda
memerlukan pula beberapa orang syahbandar. Kalau tidak salah hitung jumlahnya
empat juga, paling sedikit tiga orang. Dalam kunjungan Beliau di katakan ada
seseorang syahbandar bersama beberapa orang pegawai dan juru tulis kantor
beacukai datang dengan sampan kecil setelah kapal Prancis itu membuang sauh.
Mereka ini membawa keris kerajaan sebagai pertanda di utus sultan, menyerahkan
sebuah daftar barang – barang yang harus dipersembahkan ke Istana, lalu kebali
ke darat. Keesokan harinya tiap hadiah untuk sultan ditutupi kain halus yang
berwarna kuning, kalau ada surat resmi yang harus diserahkan, maka surat ini
dibawa di atas baki persembahan dari perak yang ditutupi setangan yang di sulam
dengan benang emas. Maka berangkatlah rombongan dari pelabuhan ke Istana.
Syahbandar di antar melalui lorong-lorong seperti Peganten. Juga pada upacara
dan perayaan-perayaan lainnya di Aceh syahbandar memegang peranan penting.
BAB IV Penutup
Kesimpulan
Aceh merupakan negara maritim yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.
Kebijakannya di bidang pelayaran turut mempengaruhi perkembangan ekonomi di
selat Malaka.
Dengan kondisi dan posisi Aceh yang strategis, Aceh mampu mengepakkan sayap
kekuasaannya ke selatan untuk menguasai sektor vital dalam dunia pelayaran di
sekitar Selat Malaka.
Sebagai negara Maritim Aceh tetap mengandalkan daerah pedalamannya yang
bersifat agraris untuk memasok kebutuhan perdagangan terutama Lada dan
rempah-rempah yang sedang naik daun kala itu.
Daftar Rujukan
Buku:
Enung K Ruikiati dan Fenti Hikmawati. 2008. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900,
dari Improrium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia.
M.C. Rickless. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Poesponegoro Djoened marwati dan Notosusanto Nogroho. Sejarah Nasional
Indonesia 111. Jakarta: Balai Pustaka.
R.Z. Leirissa dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Dennys Lombard.-. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Forum Jakarta-Paris.
Blog/web:
Abbruzzia Abbie. 7 Oktober 2010. “Asal Muasal Kesultanan Aceh Darussalam
(menurut data dan penelitian para ahli Sejarah). OL pada: 01.00 18/10/2010.
sumber: sejarah.kompasiana.com.
Cokroaminoto. “Keadaan Geografis Aceh” diposkan pada kamis, 8 Juli 2009. di
akses pada pukul 12.22 Wita pada blog: mengenalbudayaindonesia.blogspot.com.
id.wikipedia.org dalam “Aceh” diakses pada 10:37 pada 18-20-2010.
id.wikipedia.org dalam “Perjanjian London” diakses pada 10:40 pada
18-10-2010.
id.wikipedia.org dalam “Sejarah Aceh” diakses pada 10:20 pada 18-10-2010.
id.wikipedia.org dalam “Kesultanan Aceh” diakses pada 10:12 pada
18-10-2010.
“Aceh Sebagai Sebuah Sebuah Entitas dan Wilayah-Wilayah Indonesia.” Di
akses pada 05.00 wita pada 17-20-2010 di scribd.com.
acehpedia.com. “Kerajaan Aceh Darussalam.” diakses pada 07.30 pada
17-10-2010.
Admin. “Aceh: Asal Mula Bangsa Aceh.” diakses pada 12:36 pada 18-10-2010 di
acehdalamsejarah.blogspot.com.
No comments:
Post a Comment