Sunday, September 16, 2012

Aceh sebagai Negara Maritim



Pendahuluan
A. Latar Belakang
Aceh (bahasa belanda: Atchin atau Acheh, bahasa inggris: Achin, bahasa prancis: Achen atau Acheh, bahasa arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer.
Aceh mampu menampilkan dirinya sebagai salah satu kekuatan kemaritiman yang kuat pada masanya. Beberapa kalangan menyatakan bahwa pada saat kekuatan imperialis Barat mematahkan sebagian besar negara Islam, pada waktu itulah sekitar abad ke 16 M, lahir “lima besar Islam” yang terikat dalam kerja sama ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan, meliput:
1.      Kerajaan Turki Utsmani di Istanbul
2.      Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
3.      Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4.      Kerajaan Islam Akra di Indonesia
5.      Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Di sini kita bisa mengetahui bahwa Aceh telah menjalin hubungan Internasional, dan memegang peranan yang penting di kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara yang terletak di gerbang utara selat Malaka, Aceh memegang peranan yang penting dari segi pelayaran. Tak mengherankan mengapa Inggris melarang Belanda melakukan ekspansi ke Aceh dengan menghormati kemerdekaan Aceh melalui Traktat London, sekaligus meminimalkan gangguan atas perkembangan Singapura yang dijadikan pusat perdagangan oleh Inggris.
Sekarang ini Aceh telah menjadi propinsi dengan status istimewa, karena memiliki otonomi khusus dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
B. Batasan Masalah
Makalah ini membatasi pada perkembangan Aceh dari segi perkembangan Maritimnya pada abad 1600 M.
C. Rumusan Masalah
1.         Bagaimana awal perkembangan Aceh hingga abad ke 16?
2.         Kondisi pelayaran di selat Malaka?
3.         Kebijakan kesultanan Aceh (politik dan ekonomi) terhadap pelayaran di Selat Malaka?
Bab II Deskripsi Aceh
A. Awal Berdirinya Kesultanan Aceh
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan asal mula muncul istilah kerajaan Aceh Darussalam. Anas Machmud, seperti dinukilkan Badri Yatim, berpendapat bahwa kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dia yang membangun kota Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahan Muzaffar Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Protugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis tersebut, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke Utara melalui selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Berbeda pendapat dengan Anas Machmud, H.J. de Graaf mengatakan kerajaan Aceh Darussalam merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu kerajaan Lamuri dan Atjeh Darul Kamal, sedang Sultannya Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah, menurut Graaf, telah melakukan ekspansi wilayah kekuasaan meliputi Pidie yang bekerja sama denga protugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangan terhadap kedua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah sumatera Timur, sultan Aceh mengirim panglima-panglima, salah seorang di antaranya adalah Gocah pahlawan yang menurunkan Sultan Deli dan Serdang. Namun yang membesarkan nama kerajaan Aceh Darussalam menurut versi ini bukanlah sultan Ali Mughayat Syah tetapi Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Kerajaan-Kerajaan Islam yang lain di Nusantara.
B. Sistem Pemerintahan di Aceh
Wilayah Aceh terdiri atas tiga macam: daerah  inti, daerah pokok, dan daerah taklukan. Daerah inti ini merupakan wilayah dimana kerajaan inti ini berdiri, seperti  Aceh Besar. Wilayah pokok,  adalah wilayah yang dikuasai kemudian setelah Kesultanan Aceh berdiri, dan digabungkan kebawah kedaulatan Sultan Aceh.  Misanya: Pidie, Samudra Pase, Perlak, Gayo, dll. Daerah takluk yaitu negara-negara  yang menyatakan diri takluk kepada sultan aceh atau yang dianggap oleh Aceh sebagai daerah taklukkannya. Stratifikasi Masyarakat dalam Kerajaan Aceh
Struktur masyarakat aceh terdiri atas 3 golongan: golongan paling atas terdiri
atas raja dengan gelar Sultan dan para keluarga dengan gelar Tuanku. Dibawahnya terdapat bangsawan yang hidup di ibukota atapun di daerah, mereka bergelar Teuku, sementara mereka yang tinggal dipesisir dikenal dengan nama Tengku. Tingkat paling bawah terdiri atas rakyat biasa yang terbagi atas berbagai tingkatan, kelompok,
dan golongan.
Secara umum terdapat dua macam kaum bangsawan. Mereka yang keturunan
raja-raja yang bergelar Tuanku, dan mereka yang berasal dari uleebalang yang bergelar Teuku. Para uleebalang ini menguasai  sebuah nagroe (negeri), yaitu gabungan pemukiman.
BAB III Aceh sebagai Negara MaritimA. Kondisi Geografis Aceh
Wilayah Aceh cukup sukar untuk di darati dengan menggunakan kapal. Banyak kapal yang karam ketika akan mendarat di Aceh, hanya setelah melewati teluk yang sering mengaramkan kapal, pelaut harus memasuki muara sungai agar bisa sampai ke darat. Saat memasuki muara ini, Aceh seakan memiliki benteng alamiah. Ambang sungai ini sangat berbahaya untuk di lewati. Bagian muara sungai ini di awasi dengan beberapa pucuk meriam.
Kondisi geografis seperti ini membuat Aceh tidak membangun benteng dengan tembok-tembok yang besar. Saat orang Eropa mendarat d Aceh mereka tercengang dengan istana sultan yang tak memiliki benteng perlindungan. Hikayat Aceh menggambarkan bahwa gajah-gajah tempurlah yang menjadi pelindung kota Aceh.
Sebagaimana kerajaan Melayu dan Maritim lainnya, Aceh mengandalkan daerah pedalamannya sebagai penyuplai kebutuhan pokok mereka, dan barang-barang yang diperdagangkan. Tak heran bila ekspansi yang dilakukan Aceh dilakukan memasok kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan yang mereka bangun.
Ada 3 jalur sebagai pintu masuk teluk Aceh yang terlindung dari pulau-pulau Waih, Breueh, da Bunta.
  1. Alur pertama terkenal sebagai alur Surate. Karena kapal-kapal yang berlayar ke Gujarat memakai jalan ini
  2. yang ke dua di beri nama alur Benggal. Karena melalui alur ini kapal berangkat menuju Benggala dan pantai Timur India.
  3. Alur ketiga tidak disebutkan secara jelas, yang khusus di gunakan oleh kapal yang digunakan oleh kapal yang berlayar ke arah Malaka dan negeri di bawah angin.
Pengetahuan tentang alur ini amat penting kalau tidak, kapal bisa mengalami nasib seperti pengujung Belnda Nicolaus de Graff, yang pada tahun 1641kandas pada karang yang terdapat dekat pulau Waih.
Setelah berhasil memasuki teluk, kesulita yang di hadapi pengunjung Banda Aceh belum lagi selesai. Kalau belum mengenal tempatnya, maka waktu yang diperlukan untuk mencari tempat yang baik untuk melego jangkar akan lama. Seperti Beaulieu (Perancis) menghabiskan waktu 8 jam sebelum sauhnya menyentuh dasar.
Bagi kapal yang hendak mendekati kota dan memasuki sungai dengan maksud jahat, masih ada penghalang yang  penting  yang harus di hadapi, yakni tembakan dari benteng yang mengawasi lalu lintas di muara sungai. Pada tahun 1599 benteng ini belum seberapa penting, tetapi pada zaman Iskandar Muda, menurut laporan Beaulieu (1621), beteng ini terdiri dari sebuah bastion besar yang bundar yang menguasai sungai dengan beberapa meriam yang menjaga dua benteng dinding yang juga di lubangi beberapa mulut meriam yang menutup pintu pelabuhan. Apabila Davis memberitakan pada tahun 1599 bahwa ia belum pernah melihat benteng sejelek ini.
B. Posisi Geografis Aceh dalam Perdagangan Internasional
Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Sumatra bagian utara hingga ke wilayah semenanjung Malaya. Politik ekspansi ini memperkuat hegemoni kekuasaan Aceh. Wilayah yang ditaklukan ini kemudian menjadi vasal. Banyak wilayah yang di taklukan oleh Kesultanan Aceh menyebabkan memiliki negara vasal.
Kuatnya hegemoni Aceh dalam mengusai perdagangan di daerah Sumatra Utara dan sekitar Selat Malaka. Penguasaan atas Pahang dan Johor yang merupakan daerah penghasil lada yang semakin memperkuat posisi ekonomi Aceh. Pada perkembangan selanjutnya dilakukan pemusatan perdagangan di daerah Aceh yang memperkuat keuntungan perdagangan terutama pedagang-pedagang dari barat.
C. Kebijakan Aceh dalam Pelayaran dan Perniagaan
Pungutan bea cukai yang dilakukan di pelabuhan Malaka, dapat membuat kaya seseorang. Para pedagang yang baru saja tiba di Malaka harus membayar bea cukai lebih dahulu sebelum dia menjual barang dagangannya. Jumlah yang harus dibayar tergantung pada ukuran dan timbangan barang. Tarifnya pun disesuaikan dengan jenis barang dan sedangkan jumlahnya berbeda-beda menurut negeri asalnya.
Pemilik modal pelayaran dan perdagangan :
Menurut Pires pada setiap jung yang berangkat dari Malaka ada sebagian barang dagangan milik Sultan.
Sultan Malaka memang pernah mencarter kapal untuk mengangkut barang jualannya. Keuntungan yang diperoleh Sultan pun sangat banyak. Apalagi Sultan diprioritaskan dalam wilayah perdagangan (pembagian ruang (petak). Jadi Sultan makin banyak memperoleh pundi-pundi keuntungan dari berdagang. Di Aceh pemilik modalnya yaitu Sultan, karena dapat menginvestasikan hartanya untuk perdagangan dan pelayaran. Selain dari perdagangan Sultan juga mendapatkan keuntungan dari bea cukai yang di pungut dari barang impor dan pajak lainnya.
Di Sumatra  salah satu daerah penghasil rempah dan lada yang di ekpor untuk perdagangan Internasional maupun lokal dilihat dalam jaringan  hubungan maritim nusantara pada masa itu. Ketika Malaka diduduki oleh Portugis jalan sekunder ini berkembang pesat, seperti jalan laut melalui pantai barat Sumatra yang  sudah dipelopori sebelumnya perahu –perahu yang dahulu datang untuk mengambil lada, emas, budak dan lain sebagainya.
Keramaian di pelabuhan Banda Aceh pada zaman Sultan Iskandas Muda memerlukan pula beberapa orang syahbandar. Kalau tidak salah hitung jumlahnya empat juga, paling sedikit tiga orang. Dalam kunjungan Beliau di katakan ada seseorang syahbandar bersama beberapa orang pegawai dan juru tulis kantor beacukai datang dengan sampan kecil setelah kapal Prancis itu membuang sauh. Mereka ini membawa keris kerajaan sebagai pertanda di utus sultan, menyerahkan sebuah daftar barang – barang yang harus dipersembahkan ke Istana, lalu kebali ke darat. Keesokan harinya tiap hadiah untuk sultan ditutupi kain halus yang berwarna kuning, kalau ada surat resmi yang harus diserahkan, maka surat ini dibawa di atas baki persembahan dari perak yang ditutupi setangan yang di sulam dengan benang emas. Maka berangkatlah rombongan dari pelabuhan ke Istana. Syahbandar di antar melalui lorong-lorong seperti Peganten. Juga pada upacara dan perayaan-perayaan lainnya di Aceh syahbandar memegang peranan penting.
BAB IV Penutup
Kesimpulan
Aceh merupakan negara maritim yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Kebijakannya di bidang pelayaran turut mempengaruhi perkembangan ekonomi di selat Malaka.
Dengan kondisi dan posisi Aceh yang strategis, Aceh mampu mengepakkan sayap kekuasaannya ke selatan untuk menguasai sektor vital dalam dunia pelayaran di sekitar Selat Malaka.
Sebagai negara Maritim Aceh tetap mengandalkan daerah pedalamannya yang bersifat agraris untuk memasok kebutuhan perdagangan terutama Lada dan rempah-rempah yang sedang naik daun kala itu.
Daftar Rujukan
Buku:
Enung K Ruikiati dan Fenti Hikmawati. 2008. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Improrium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia.
M.C. Rickless. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Poesponegoro Djoened marwati dan Notosusanto Nogroho. Sejarah Nasional Indonesia 111. Jakarta: Balai Pustaka.
R.Z. Leirissa dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Dennys Lombard.-. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Forum Jakarta-Paris.
Blog/web:
Abbruzzia Abbie. 7 Oktober 2010. “Asal Muasal Kesultanan Aceh Darussalam (menurut data dan penelitian para ahli Sejarah). OL pada: 01.00 18/10/2010. sumber: sejarah.kompasiana.com.
Cokroaminoto. “Keadaan Geografis Aceh” diposkan pada kamis, 8 Juli 2009. di akses pada pukul 12.22 Wita pada blog: mengenalbudayaindonesia.blogspot.com.
id.wikipedia.org dalam “Aceh” diakses pada 10:37 pada 18-20-2010.
id.wikipedia.org dalam “Perjanjian London” diakses pada 10:40 pada 18-10-2010.
id.wikipedia.org dalam “Sejarah Aceh” diakses pada 10:20 pada 18-10-2010.
id.wikipedia.org dalam “Kesultanan Aceh” diakses pada 10:12 pada 18-10-2010.
“Aceh Sebagai Sebuah Sebuah Entitas dan Wilayah-Wilayah Indonesia.” Di akses pada 05.00 wita pada 17-20-2010 di scribd.com.
acehpedia.com. “Kerajaan Aceh Darussalam.” diakses pada 07.30 pada 17-10-2010.
Admin. “Aceh: Asal Mula Bangsa Aceh.” diakses pada 12:36 pada 18-10-2010 di acehdalamsejarah.blogspot.com.

No comments:

Post a Comment