BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pemerintahan
Zaman Nara
Pada tahun 710 selama pemerintahan kaisar Gemmei yang menggantikan
kaisar Mommu, ibukota Negara di
pindahkan ke Nara,
dan tetap berada disana selama 70 tahun, masa yang meliputi 7 kaisar karenanya
zaman ini disebut zaman Nara
Selama zaman Nara system Ritsuryo diterapkan dengan berhasil. Ini berakibat baik
bagi kehidupan bangsa. Kekuasaan kaisar memuncak, keuangan Negara berada pada
landasan yang kokoh, dan Negara sekarang sanggup menyalurkan tenaganya menurut
kehendaknya. Dynasty T’ang berkuasa di cina dari mengalami zaman emas di bidang
kemakmuran dan kebudayaan. Kebudayaan T’ang yang tinggi itu di ambil oleh
bangsa Jepang
dan digunakan untuk menciptakan sebuah kebudayaan yang jauh lebih matang dari
pada kebudayaan zaman Asuka. Ciri khas kebudayaan ini adalah tekanan yang
diberikan kepada agama Budha.
Pada dasarnya pengaruh agama Budha dibidang politik
dan kebudayaan tidak sejalan dengan semangat Ritsuryo. System Ritsuryo di bentuk
menurut pemikiran politik Kong
hu cu dan menekankan hubungan alamiah antara penguasa dan rakyat. Pada
tahun-tahun permulaan zaman Nara
cita-cita itu diterapkan dengan hasil baik. Wilayah kaisar mencakup kepulauan
di selatan Kyusu
sumber-sumber mineral dalam negeri di kembangkan, dan pembuatan mata uang
dimulai. 2 buku sejarah nasional yang mencakup masa sejak pendirian Negara
yaitu kitab Kujiki
dan Nihon Choki dikumpulkan dan
setiap provinsi diperintahkan untuk membuat topografis mengenai daerahnya
masing-masing
Tetapi tidak lama kemudian system Ritsuryo goncang sampai
ke desanya karena kesulitan menerapkan kepembahagian tanah pertanian kepada
rakyat. Kaisar Shomu
seorang yang sangat dalam Kong
hu cu dan agama Budha,
yang naik tahta dalam suasana
yang penuh harapan di pihak rakyat, berusah menjadikan agama Budha sebagai pusat
kegiatan pemerintahan. Dapat diduga bahwa ini akibat kesedihan nya atas
kematian putranya yang meninggal sebelum satu tahun. Shomu berusaha
mengendalikan krisis yang mengancam dengan cara bertopang pada kekuatan magis
agama Budha untuk melindungi
Negara dan menolak kekuatan jahat. Ia memerintahkan pembangunan kuil dan biara
di 60 provinsi supaya disana dapat dibacakan surat-surat unruk keamanan dan
kemakmuran Negara. Di ibukota ia mendirikan kuil Todaiji dimana disimpan patung Budha Vairocana yang sangat
besar. Dengan demikian bahwa ia mengharap bahwa jasa yang diperoleh dengan
usaha itu akan menjamin keselamatan bangsa. Kuil-kuil itu masih ada sampai
sekarang di seluruh Jepang
dan dikenal sebagai Kokugunji,
“Budha
agung dari Nara”
yaitu patung raksasa yang lebih 15 meter tingginya, masih ada ruang utama kuil Todaiji meskipun sudah
mengalami perbaikan. Maksud kaisar itu memang terpuji karena tumbuh dari rasa
prihatin akan keselamatan Negara dan bangsa. Akan tetapi akibatnya mengikis
keuangan nasional dan memaksakan beban yang berlebih lebihan atas pundak
rakyat. Karenanya usaha-usaha ini sama sekali tidak memperbaiki pemerintahan
nasional, malah lebih banyak keburukan dari pada kebaikan yang di timbulkannya,
karena sejak saat itu para pendeta mulai campur tangan sdalam sumber-sumber
kekusasaan dan pemerintahan.
Dapat dikatakan bahwa sejarah zaman Nara merupakan masa
perubahan pemerintahan menurut kepercayaan Kong
hu cu ke pemerintahan menurut agama Budha.
Serta pergulatan politik antara kaum bangsawan dengan kaum pendeta. Para
keturunan Fujiwara
no Kamatari yang memainkan
peranan yang besar dalam pembaruan Taika
muncul dalam dunia politik zaman ini sebagai golongan bangsawan baru.
Pemimpinnya Fujiwara
no Kamaro merupakan
penganjur yang tekun bagi pemerintahan menurut cara Kong hu cu. Ia memegang kendali atas dunia politik sejenak setelah
wafatnya kaisar Shomu. Fujiwara no Kamatari kemudian kehilangan pamornya dan tokoh
penting, seorang rahib Budha yang bernama Dokhio berhasil memperoleh lindungan putri Shotoku.
Setelah kurang lebih 5 tahun berlangsungnya pemerintahan yang cenderung kepada
agama Budha,
Dokyo
diganti lagi dengan gaya Kong hu chu oleh kaum Fujiwara. Pergantian
yang membingungkan ini dalam keadaan politik dimana menteri-menteri secara berturut-turut bergantian akibat
perbedaan antara pandangan politik Kong
hu cu dan agama Budha,
merupakan ciri khas di zaman ini.
Karena
penghargaan yang diberikan kepada agama Budha
kebudayaan Budha
mengalami perkembangan gemilang. Ciri khas dari kebudayaan Tempyo (sebutan bagi
zaman ini yang berasal dari nama pemerintahan kaisar Shomu) terdapat dalam
keindahan hasil seni pahat agama Budha.
Sejumlah besar hasil karya utama dari zaman ini masih dapat ditemukan di kuil-kuil agung di Nara. Kuil-kuil ini
mengagumkan karena keahlian seniman Jepang
dalam mengambil alih teknik T’ang dan membentuknya
menjadi sesuatu yang khas Jepang.
Di musim kerajaan Shosoin di Nara masih di simpan perlengkapan sehari
hari, alat musik,
dan sebagainya, milik kaisar Shomu. Benda-benda ini menunjukkan
tingginya mutu kehidupan para bangsawan di zaman itu.
Meskipun
pada zaman itu orang Jepang
tergila-gila dengan kebudayaan T’ang
dan secara umum percaya kepada agama Budha
sebagai sumber keselamatan, namun pandangan hidup yang khas Jepang masih
mempengaruhi orang. Manyoshu merupakan kumpulan yang terdiri dari 4500 sajak Jepang yang berasal dari
zaman ini, dan secara langsung berbicara dari hati para penyairnya yang terdiri
atas kaisar dan orang biasa. Meskipun Manyoshu
merupakan kumpulan puisi Jepang
yang tetua, namun puisi-puisi itu masih mempunyai daya untuk menyentuh
orang-orang modern sekalipun.
B.
Perkembangan
Budhisme
Kemajuan Budhisme mendatangkan
juga perubahan pada kedudukan menteri- menterinya,
mentri ini di pandang tinggi oleh golongan atas dan bawah. Maka beberapa paderi
budhis memperoleh pengaruh besar disebelah kedudukan mereka yang di segani oleh
masyarakat umum.
Walaupun Budhisme sudah menjadi
semacam kepercayaan umum di negri kepulauan itu, ada juga orang Yamato yang tidak
berpegang kukuh pada kepercayaan semula mereka yang berupa pemujaan arwah dan
roh- roh orang yang sudah wafat, dan kemudian menjadi pemujaan pendekar dan
pemujaan leluhur dengan berdasarkan pemujaan alam kepercayaan semula mereka
yaitu Shinto. Kepercayaan mereka telah
tercampur oleh oleh Tionghoa.yang
merembes sedikit demi sedikit di Jepang
sejak abad ke 3. Dan oleh Budhisme
dan Konfuisisme yang membentang
di Jepang dalam abad ke 6
dengan begitu dapat dikatakan ketidak sukaan mereka terhadap Budhisme di sebabkan oleh
kenyataan bahwa mereka tidak dapat menyetujui hal yang, bahwa mereka bersifat
konservatif. Pada tahun 741 dibangun Kokubunji yakni biara-biara propinsi
resmi
C.
Perhatian Kesusasteraan
Kebudayaan Tionghoa
yang telah menyeberangi laut Tiongkok
dan laut Jepang
ke negeri matahari terbit, mengajar kenal banyak segi kebudayaan darat Asia kepada bangsa Jepang banyak orang
penting juga dalam kalangan pemerintahan paham bahasa Tionghoa. Mereka telah
menguasai huruf Tionghoa
cukup banyak sehingga mereka bukan hanya dapat membaca dalam bahasa Tionghoa, melainkan juga
pandai pula menulis dalam bahasa negeri tetangganya ini. Bahkan mereka telah
bertindak lebih jauh. Mereka mempergunakan huruf-huruf Tionghoa secara fonetis
untuk menulis dalam bahasa mereka sendiri. Tegasnya huruf-huruf Tionghoa telah memberi
kepada mereka sebuah alat pelahiran pikiran
Pelahiran pikiran ini segera juga beralih
ke kalangan kreatif kepandaian melahirkan pikiran
dengan mempergunakan huruf Tionghoa
lalu sejarah fonctis di salurkan mereka dalam bidang pekerjaan penciptaan.
Dengan begitu zaman Nara bukan hanya zaman
keagungan Budhisme,
melainkan juga zaman kemajuan besar di dalan kalangan kebudayaan umum.
Pemahaman kesusteraan Tionghoa
dilakukan dengan
giat.
Ditiongkok pada masa itu memerintah
dinasty T’ang(618- 907) dinasti T’ang ini adalah salah
satu dari kerajaan terbesar yang pernah memerintah di Tiongkok. Zaman T’ang merupakan salah
satu zaman emas Tiongkok
purba
Dan dari abad 7 sampai abat 9 orang Jepang amat mengagumi kebudayaan
Tionghoa. Karena kekagumannya
ini akan kebudayaan Tionghoa
maka orang Jepang
jadi meneladani Tiongkok
dalam hampir sesuatu bidang kehidupan. Mereka menulis bukan hanya dengan
huruf-huruf tionghoa melainkan juga dalam bahasa Tionghoa. Dalam bahasa tradisional pula Edwin o Reistehauoer sampai
menujukkan bahwa orang Jepang
amat menggemari ilmu menulis
tradisional Tionghoa
sehingga beberapa abad sesudahnya itu orang Jepang
terpelajar merasa menulis dalam bahas mereka sendiri berada disebelah bawah
derajat mereka. Kemudian terbit pula kumpulan sajak-sajak Jepang yang pertama
yaitu buku yang berjudul Manyosu yang berarti kumpulan selaksa daun. Ada empat
macam pemakaian huruf Tionghoa
di Jepang yaitu, sebagai
huruf-huruf tionghoa dalam bahasa tionghoa, sebagai huruf tionghoa dalam bahasa
Jepang, dipergunakan
dalam penciptaan huruf dan mengeja bahasa Jepang,
sebagian huruf Tionghoa
disederhanakan dan di tulis dengan disambung semua bagiannya dengan tujuan
mengeja bahasa Jepang.
D. Buku
Kojiki
Dan
Nihon
Shoki
Karya
kesusasteraan pertama orang jepang adalah buku kojiki yaitu catatan soal-soal
kuno. Kojiki adalah pembukuan dari kisah-kisah yang sampai sebegitu jauh hanya
beralih dari mulut kemulut mengenai terjadinya negara dan bangsa Jepang. Kojiki terbit dalam
tahun 712. Kemudian pada tahun 713 terbit pula buku Fudoki, ujibumi dan
kitab-kitab yang lain.
Dalam tahun 720 disusunlah Nihon Shoki atau Nihongi
(kronikel Jepang)
buku ini yang dipandang sebagai buku sejarah Jepang, di tulis seluruhnya dengan bahasa
Tionghoa. Jadi bukan
hanya memakai huruf Tionghoa
dan berbahasa Jepang
sebagaimana halnya dengan Kojiki.
E.
Keadaan Zaman
Dengan adanya reformasi Taika, sistem
pemerintahan di Jepang meniru sistem pemerintahan yang ada di Cina. Jepang pun
meniru membuat kota seperti di ibukota Cina, Chang’an dan menjadikan Heijo
(sekarang Nara) yang disebut dalam
bahasa Jepang disebut Nara no Miyako sebagai
ibukota sekaligus pusat pemerintahan pada tahun 710 M (Hal inilah yang membuat
zaman ini dinamakan zaman Nara).
Pada saat itu kaisar membuat
undang-undang Taiho (Taiho Ritsuryo). Kaum bangsawan dapat menikmati
kehidupan dengan menyenangkan. Di Heijo didirikan pasar. Kemudian untuk
memudahkan jual beli dibuatlah Wadokaiho (uang kuno berbentuk bulat yang
terbuat dari tembaga dengan diameter 10,95 mm dan berat 0,13 ons yang dibuat
tahun 708 M).
Pada zaman ini kaum petani sangat
miskin dan menderita karena pajak yang tinggi, sehingga banyak yang membuang
tanahnya. Kemudian istana membuat peraturan tentang pemberian tanah kepada
orang yang akan membuka lahan tersebut. Setelah peraturan tersebut ditetapkan,
terjadi persaingan antara bangsawan, kuil dan keluarga penguasa untuk membuka
lahan baru, sehingga tanah pribadi semakin berambah. Tanah pribadi yang bebas
pajak tersebut dinamakan Shoen. Karena peraturan tersebut, pemerintahan
menjadi kacau. Bangsawan dan pendeta yang punya tanah luas menjadi berkuasa di
pemerintahan. Kekacauan tersebut menjadikan zaman ini berakhir.
F.
Kebudayaan
Zaman Nara merupakan puncak pertama
dalam perkembangan budaya Jepang. Dari segi arsitektur, banyak bangunan atau
kuil yang didirikan dengan meniru gaya bangunan Cina. Dalam kesusastraan
dihasilkan Kojiki (cerita zaman kuno) dan Nihongi atau Nihonshoki
(sejarah Jepang). Kojiki selesai ditulis pada tahun 712 M dan dikumpulkan oleh
Onoyasumaro. Nihongi selesai ditulis pada tahun 720 dan dikumpulkan oleh Toneri
Shinno. Penulisan keduanya dilakukan dengan bantuan orang Cina dan Korea.
Karena pada saat penyusunannya orang Jepang belum punya huruf sendiri dan belum
pintar menulis. Para ahli sejarah menyatakan bahwa sebagian cerita sejarah
dalam Nihongi bukanlah sejarah yang sebenarnya, terutama sejarah sebelum tahun
400 M. Misalnya dalam Nihongi dikatakan bahwa pemerintahan kaisar Jinmu dimulai
sejak tahun 660 SM – 581 SM, padahal setelah ditelusuri kaisar Jinmu
memerintah sejak permulaan abad Masehi. Banyak hal yang bukan dari zaman purba
dimasukkan ke dalamnya. Diperkirakan kebohongan itu ditulis dengan tujuan politik
dan agama untuk mempertinggi martabat kerajaan dan memberikan bukti adanya
zaman purbakala. Ada juga Fudoki (legenda dan profil tiap daerah), dan Manyoshu
(kumpulan puisi. Ada sekitar 4500 puisi). Manyoshu ditulis dengan Manyogana
yaitu tulisan dengan struktur bahasa Cina (Kanji) tetapi menggunakan cara
baca Jepang.
G.
Kepercayaan
Kepercayaan
Zaman Nara bersifat
budhisme ke kehidupan orang Yamato, dari golongan yang tertinggi sampai kepada kaula
terendah, bahkan dapat dikatakan Nara bersifat budhistis. Dalam tahun 724
kaisar Shomu naik singgasana dan memerintah sehingga tahun 749 Juga
kaisar ini telah berbuat banyak untuk budhisme. Dengan Tiongkok atau
lebih jelas dengan kerajaan T’ang kerap kali
di adakan hubungan banyak pendiri budhis datang dari Tiongkok ke Jepang untuk
memperkenalkan lebih jauh agama itu. Pada kebalikannya banyak pendiri budhis Jepang
mengunjungi Tiongkok untuk mempelajari agama ini.
H.
Peninggalan
Kaisar Shomu membangun kuil Todaiji di
Nara dengan patung Daibutsu. Patung tersebut dibuat dari perunggu setinggi 53
kaki. Patang ini selesai dibuat tahun 725 M. Pada tahun 756 M didirikan Shoshoin
di dekat kuil Todaiji untuk menyimpan barang-barang kesenian peninggalan kaisar
Shomu.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zaman
Nara adalah zaman
berkembangnya budha di Jepang,
dan kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari Tiongkok.juga
zaman ini merupakan zaman dimana ilmuan- ilmuan Jepang menulis tentang kerajaan dan
kehidupan social budaya Jepang.
Banyak hasil kebudayaan dan kesusasteraan yang telah
dibuat pada masa ini, bahkan mulai terjadi nya perubahan dalam pemakaian
huruf-huruf Tiongkok
dalam penyesuaian kehidupan orang Jepang
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari pelbagai buku dan sajak yang di buat pada
masa ini. Bahkan banyak sarjana-sarjan pergi ke Tiongkok untuk belajar akan kebudayaan
dynasty T’ang yang berkuasa di
masa itu dan merupakan kebudayaan yang tinggi di Tiongkok.
Tak
lepas dari itu juga terjadi konflik internal pada zaman ini yaitu antara
bangsawan- bangsawan dengan pendeta-pendeta sekitar. Penyebab nya pun karena
kaum pendeta dianggap sangat berkuasa pada masa itu di karenakan keistimewaan
yang diberikan kaisar.
Peninggalan-peniggalan
pada zaman Nara
ini pun cukup banyak yaitu berupa patung-patung budha dan kuil-kuil Budha yang tersebar di
pelbagai tempat serta barang- barang peninggalan
kaisar lainnya. Begitupun juga dengan karya-karya kesusasteraan.
Walaupun
zaman ini sangat mencolok akan kebudayaan budhis nya, tapi banyak juga rakyat Jepang yang tetap
menganut kepercayaan nenek moyang mereka yaitu agama Shinto.
Zaman
ini berakhir pada tahun 794 saat kaisar Kanmu
memindahkan ibukota dari Nara
ke Heian Kyo.
Daftar
Pustaka
Abdullah, Teuku; Nurasiah; Abidin, Zainal. Sejarah
Asia Timur.Universitas Syiah Kuala. 2008, Banda Aceh. (halaman, 74-76)
Jepang
Sepanjang Masa. (halaman, 32-38,41)
どうも。。
ReplyDelete